Apakah Bali Mengalami Overtourism?

RIAU24.COM - Perusahaan penerbitan panduan perjalanan global, Fodor’s Travel, menempatkan Bali dalam daftar destinasi yang tak layak dikunjungi pada 2025 akibat overtourism.
Setiap tahun panduan yang sudah dijadikan acuan selama puluhan tahun ini merilis daftar yang mereka sebut Fodor’s No List dengan tujuan menyoroti destinasi yang popularitasnya menurun drastis. Dan dalam rilisan terbarunya, mereka menempatkan Bali di posisi pertama.
“Pembangunan yang cepat dan tak terkendali akibat pariwisata yang berlebihan telah merambah habitat alami Bali, mengikis warisan lingkungan dan budayanya, serta menimbulkan “bencana sampah plastik,” tulis mereka di situsnya.
Di Indonesia, ahli dan pemerintah memiliki pendapat berbeda soal apakah Bali sudah mengalami overtourism.
Dosen fakultas ilmu sosial dan ilmu politik Universitas Brawijaya, I Wayan Suyadnya, sudah mengidentifikasi overtourism di Bali sejak 2019.
Dalam penelitian berjudul Tourism Gentrification in Bali, Indonesia: A Wake-up Call for Overtourism yang diterbitkan di jurnal Masyarakat: Jurnal Sosiologi pada 2021, Wayan mengindikasikan gentrifikasi pariwisata di Bali sudah dalam puncak perkembangannya.
Itu terlihat dari investasi modal, perubahan demografi, perubahan budaya dan gaya hidup, serta pertumbuhan fasilitas, lanskap, dan infrastruktur yang tidak terkendali.
“Dari gentrifikasi yang seperti ini, perkembangan pariwisata di Bali bisa dikategorikan sebagai overtourism karena ada penurunan kualitas destinasi wisata di tiga lokasi tersebut,” kata Wayan dalam simpulan studinya.
Penelitian itu dilakukan di Kuta, Sanur, dan Ubud—tiga kawasan wisata yang disebut segitiga emas—karena menunjukkan wilayah yang mengalami gentrifikasi.
I Gde Pitana, profesor bidang pariwisata di Universitas Udayana, tidak sepakat ketika seluruh Pulau Bali disebut mengalami overturism, seperti yang terjadi di Spanyol atau negara-negara Eropa lainnya.
Overtourism, menurut Pitana, bisa diukur dari tingkat gangguan kepada masyarakat, tingkat kemacetan lalu lintas, tingkat kepadatan objek-objek wisata, hingga persepsi masyarakat terhadap kehadiran wisatawan.
Dari kriteria-kriteria itu, menurut dia, Kuta, Canggu, dan Ubud, termasuk daerah-daerah di Bali yang sudah mengalami overtourism.
Namun dia menegaskan, secara keseluruhan, Bali “masih kurang turis”.
“Orang Bali sampai sekarang masih tetap berpromosi untuk mendapatkan turis, baik untuk Bali secara keseluruhan maupun semua objek wisata,” kata Pitana.
Mantan Kepala Badan Sumber Daya Pariwisata di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ini mengatakan sudah lama memprediksi warga Bali akan bermasalah dengan tanah.
Ketika menjabat Kepala Dinas Pariwisata Bali pada 1985, Pitana mengaku “selalu mengimbau” warganya untuk tidak menjual tanah. “Kalau bisa, tanah itu dikontrakkan. Peraturan pengontrakan tanah itu kan 30 tahun. Setelah 30 tahun, tanah itu tidak hilang,” ujar Pitana.
Ia mengimbau agar uang hasil sewa itu kemudian dialokasikan untuk membeli saham perusahaan yang membangun di tanah mereka.
Nyatanya, imbauan itu tidak digubris warga. Pitana menyebut ada saja pihak “yang sinis” karena tidak ada aturan tertulis, seperti undang-undang, yang melarang orang untuk menjual tanahnya.
Oleh sebab itu, pada 1992, ketika menjabat sebagai konsultan United Nations Development Programme (UNDP) dan meninjau rencana utama pariwisata Bali, Pitana dan rekan-rekannya mengusulkan membuat desa wisata.
Tujuannya, untuk mengembangkan pariwisata di desa yang berbasis masyarakat lokal, dimiliki oleh lokal, dikelola oleh lokal, “dan orang lokal itu tidak menjual tanahnya”.
Desa Wisata Penglipuran di Kabupaten Bangli, adalah salah satu contoh program ini.
“Pendapatan desa itu sekarang besar karena kunjungan wisatawan. Sehingga orang-orang Penglipuran enggak mau lagi kerja ke Denpasar atau ke Gianyar. Mereka kerja di desanya,” kata Pitana.
Pakar pariwisata dari Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya di Bali, I Nengah Subadra, juga mengatakan “Bali belum masuk ke overtourism”.
Sebab, kata dia, yang disoroti hanya daerah selatan yang memang sudah ramai wisatanya, seperti Kuta, Legian, Seminyak, dan sekarang sampai ke Canggu dan Pererenan.
“Sedangkan kalau di daerah lain, seperti di Bali Timur, misalnya Karangasem, atau Bali Utara di Singaraja, Buleleng, atau bahkan di Bali Tengah, di Bangli, itu masih perlu banyak wisatawan,” kata Subadra
Jumlah wisatawan yang datang pun, katanya, belum pulih seperti pada masa-masa sebelum pandemi Covid-19.
Data BPS mencatat pada 2023 kunjungan wisatawan domestik ke Bali mencapai 9,7 juta, sedangkan pada 2019 lalu, kunjungan wisatawan lokal tembus 10,5 juta—rekor tertinggi.
Untuk jumlah wisatawan mancanegara, pada 2023 BPS mencatat 5,2 juta pengunjung dari luar negeri yang berwisata di Bali, sementara pada 2019 jumlahnya mencapai 6,2 juta pengunjung.
Pada awal 2024, menteri pariwisata saat itu, Sandiaga Uno, yang kala itu menjabat sebagai menteri pariwisata, mengaku tak setuju kalau Bali disebut overturism. Hal yang sama diungkapkan pemerintah daerah.
Alih-alih overtourism, yang terjadi adalah wisatawan terlalu terkonsentrasi di Bali bagian selatan. Menurut mereka, persoalan ini bisa dituntaskan dengan penataan.
Lima bulan kemudian, Sandiaga mengatakan wilayah Bali Selatan dan Kabupaten Badung sudah mendekati pariwisata berlebih atau overtourism, sehingga perlu dilakukan pemerataan.
“Naik 10 persen lagi sudah sepenuhnya pariwisata berlebih. Jangan sampai terjadi seperti di Barcelona di mana turis malah menjadi musuh bersama,” ujar Sandiaga, seperti dikutip dari kantor berita Antara.
Meski jumlah wisatawan di Bali belum melampaui rekor tertinggi yang tercatat pada 2019, pembangunan fasilitas pariwisata yang tak terkendali telah menimbulkan peralihan lahan yang kemudian memicu berbagai masalah, salah satunya kemacetan.
Untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah Bali mengajukan moratorium pembangunan hotel, vila, diskotek, dan kelab pantai di Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita) selama 1-2 tahun kepada pemerintah pusat.
Menurut Penjabat (Pj) Gubernur Bali, Sang Made Mahendra Jaya, moratorium ini dilakukan “demi mendorong terbentuknya pariwisata yang berkualitas”.
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves) kemudian mengeluarkan Keputusan Menteri Nomor 163 Tahun 2024 tentang Satuan Tugas Penerapan Pariwisata Berkualitas di Provinsi Bali.
Kebijakan moratorium itu dinyatakan berlaku mulai Oktober 2024, tetapi hingga kini pemerintahan Prabowo belum membahasnya dan kebijakan ini masih jadi perdebatan di lapangan.
Pelaksana tugas (Plt) Bupati Badung Ketut Suiasa mengatakan moratorium ini menimbulkan "sebuah paradoks" sebab mereka memiliki target investasi yang harus dikejar. Menurutnya, moratorium ini “bukan satu solusi terbaik”.
“Kami di Badung belum sepakat tentang melaksanakan moratorium,” kata Ketut Suaisa dalam sebuah rapat koordinasi pada awal November.
Harga tanah ‘menyesuaikan’
“Ada gula, ada semut,” kata Kepala Dinas Pariwisata Bali Tjokorda Bagus Pemayun menanggapi banyaknya investor yang tertarik dengan Bali. Ceruk investasi itu kemudian “dipermudah” dengan birokrasi-birokrasi yang ada.
Salah satu adalah Online Single Submission (OSS) yang sengaja dibuat Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM untuk memudahkan perizinan. Pertumbuhan investasi dan bisnis itu pada akhirnya mendorong kenaikan harga tanah maupun properti.
“Dengan Bali sebagai destinasi [wisata], pasti demand/supply-nya akan menyesuaikan. Membeli tanah pasti menyesuaikan dengan harga yang sesuai dengan NJOP (nilai jual objek pajak). Itu saja,” ujar Tjokorda, kepada wartawan Christine Novita Nababan, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Meski demikian, pria yang akrab disapa Tjok ini tak memungkiri bahwa di tengah ramainya investasi di Bali, ada persoalan perizinan yang mempengaruhi tata ruang.
Itu sebabnya, sebelum moratorium benar-benar diterapkan, Tjok mengatakan pihaknya ingin mengumpulkan daftar masalah terlebih dahulu di wilayah-wilayah padat pembangunan wisata, salah satunya di Badung.
Pemda Bali, kata Tjok, sudah “menyurati” pemerintah pusat terkait hal itu.
Dalam surat yang sama, juga dibahas rancangan teknis pengelolaan investasi itu, khususnya Penanaman Modal Asing (PMA) oleh investor asing.
Pemerintah Bali meminta perizinan usaha yang berhubungan dengan PMA seharusnya dibatasi, hanya untuk usaha berisiko menengah tinggi, atau tinggi saja.
Semakin tinggi level risiko usahanya, semakin banyak syarat yang dibutuhkan, salah satunya dokumen lingkungan seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Sementara di level risiko usaha rendah dan menengah rendah—yang persyaratannya lebih mudah—diperuntukkan bagi investor lokal saja, kata Tjok.
“Yang sekarang ini, PMA yang usaha [risiko] rendah, menengah-rendah juga boleh masuk,” ujarnya.
Dia menambahkan hingga kini belum ada respons pemerintah pusat terkait surat tersebut.
Dosen fakultas ilmu sosial dan ilmu politik Universitas Brawijaya, I Wayan Suyadnya, memprediksi jika perkembangan pariwisata di Bali sudah di luar adaptasi warga lokal, mereka akan melakukan protes besar-besaran seperti di Spanyol.
“Kemungkinan itu ada,” jawab Wayan. “Tapi, pada titik mana?” lanjutnya.
Aksi serupa sudah pernah dilakukan warga Bali, seperti yang terjadi pada 1994 ketika kawasan Tanah Lot dijadikan destinasi wisata dengan pembangunan hotel bernuansa resor.
Selain itu, kata Wayan, pembangunan proyek Bali Pecatu Graha juga sempat ditentang keras oleh warga.
Perlawanan juga muncul lewat gerakan Bali Tolak Reklamasi, penolakan terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Bedugul.
“Orang Bali protes, tapi satu kesamaannya. Ketika kita melanggar sakralitas, yaitu pura, lingkungan pura, dan sebagainya,” kata Wayan.
“Tetapi selama tidak melanggar hal-hal yang sifatnya prinsip seperti keagamaan, mereka masih bisa menahan diri.”
Orang Bali, lanjutnya, sangat percaya dengan adat dan karma. Kala desa adat tidak mengambil sikap terhadap situasi yang mereka hadapi, warga tak akan mengambil langkah lebih jauh dan menyerahkan pada hukum karma.
Selain itu, ada budaya koh ngomong atau malas bicara—untuk menghindari perdebatan panjang dan menjaga keharmonisan di Bali.
“Orang Bali itu, ketika mereka sudah mengatakan alam yang akan membalasnya, itu berarti mereka sudah pada titik malas untuk berbicara ataupun menyampaikan aspirasinya ke wakil-wakilnya atau ke media,” ujar Wayan.
Dalam penelitian terbarunya yang membahas overtourism di Canggu, sebagian besar responden mengaku sangat terganggu dengan perkembangan pariwisata di kawasan yang tengah naik daun tersebut.
“Ada seorang anak yang bangun tengah malam hanya untuk belajar karena suara diskotik yang ada di sekitar rumahnya itu mulai dari jam 7 sampai jam 1 pagi,” tutur Wayan menceritakan hasil wawancaranya.
“Dia merasa terganggu sekali, tapi sekarang dia mengatakan itu sudah biasa,” lanjutnya.
Warga menyebut apa yang mereka alami merupakan “bagian dari konsekuensi sebagai hidup bersama turis” di destinasi wisata.
“Jadi bukan menganggap bahwa orang luar yang mendatangkan masalah, tetapi justru mereka berefleksi. Kita yang membutuhkan mereka. Turis kemudian datang, mau tidak mau, [warga] yang harus mengatur ritme hidup,” kata Wayan.
Sebagai orang Bali, Wayan tentu memahami sifat itu. Namun menurut dia, di sisi lain konsep ini sudah “kebolak-balik” jika dikaitkan dengan pariwisata.
Setelah melakukan penelitian dan melihat kondisi yang ada, Wayan menyimpulkan orang-orang Bali sudah “tertawan” oleh pariwisata. Perkembangan wisata dianggap sebagai “mantra yang kuat” yang bahkan bisa “membungkam” mereka.
Meskipun gesekan antara warga lokal dan para pendatang—termasuk wisatawan—mulai muncul, mereka masih merasa bahwa pendatang baru merupakan komponen pendukung dalam kemajuan kawasan wisata.
Akibatnya, penduduk setempat “terjepit” dan hanya bisa menerima konsekuensi perubahan yang mau tak mau harus mereka setujui. ***