Tradisi Melukat di Bali Semakin Populer Bagi Wisatawan, Tapi Mengapa Warga Bali Khawatir?

Devi 22 Mar 2025, 15:40
Tradisi Melukat di Bali Semakin Populer Bagi Wisatawan, Tapi Mengapa Warga Bali Khawatir?
Tradisi Melukat di Bali Semakin Populer Bagi Wisatawan, Tapi Mengapa Warga Bali Khawatir?

RIAU24.COM Tradisi melukat di Bali menjadi tren di TikTok. Sebagian warga Bali mengapresiasi hal ini, tetapi tidak sedikit yang khawatir kesucian ritual keagamaan mereka menjadi terganggu.

Meski usianya sudah berabad-abad, Pura Mengening yang terletak di dasar lembah Sungai Pakerisan dekat Ubud, Bali, sepertinya tidak banyak berubah.

Situs Warisan UNESCO yang sudah ada sejak abad ke-11 ini ditumbuhi lumut sehingga tampak menyatu dengan lingkungan sekitarnya.

Satu-satunya suara yang terdengar di dalam candi adalah gemericik air yang mengalir dari pancuran kuno ke kolam-kolam di bawahnya.

Akan tetapi, ada satu pemandangan yang cukup menarik perhatian: orang-orang dari negara-negara Barat berduyun-duyun memasuki kolam-kolam pura dengan mengenakan kain tradisional.

Dengan tekun, mereka menempatkan kepala di bawah pancuran air suci yang dingin demi membersihkan pikiran, tubuh, dan jiwa mereka.

Umat Hindu Bali meyakini upacara melukat dapat membantu seseorang dalam menemukan kedamaian batin. Tradisi ini meliputi rangkaian doa, pemberkatan dari pemuka agama, dan pembasuhan air suci.

Sejak berakhirnya pandemi, semakin banyak orang Barat yang terbang ke pulau Bali demi merasakan ritual kuno ini.

Para pengguna TikTok turut mendorong minat terhadap melukat. Klip-klip wisatawan yang mengikuti tradisi ini di berbagai pura atau air terjun yang disucikan menjadi populer di platform itu.

Hotel-hotel mewah menawarkan akses VIP ke mata air suci bagi tamu yang ingin menjalani melukat. Manajemen bahkan memfasilitasi tamu untuk menemui pemuka agama desa setempat di kediaman mereka.

Sejak pandemi, Hotel Intercontinental Bali Jimbaran melaporkan peningkatan jumlah tamu hingga 15 kali lipat. Kebanyakan dari mereka ingin melakukan Melukat.

Hotel Anantara Ubud yang baru dibuka juga memasukkan tradisi melukat dengan pemuka agama tinggi dalam paket wisata kesehatan.

Melukat sendiri memiliki beberapa jenis dan masing-masing memiliki tujuan yang berbeda.

Upacara ini diyakini dapat menghilangkan kesialan, menyembuhkan penyakit, membantu kelancaran bisnis, dan mempersiapkan pengantin baru dalam pernikahan.

"Melukat atau Malukat berasal dari kata Sanskerta 'lukat' yang berarti 'bebas dari penderitaan'," ujar Marlowe Bandem, kurator Museum Saka di Bali.

Bandema menjelaskan bahwa ritual ini dilakukan pada hari-hari baik seperti bulan purnama, bulan baru, atau ulang tahun Bali seseorang.

Ulang tahun Bali didasarkan pada kalender Bali dan jatuh setiap 210 hari.

Melukat dapat dilakukan di kuil milik keluarga, pura, sungai atau pantai dengan kehadiran pemuka agama. Air suci melambangkan esensi kehidupan.

"Melukat meliputi persembahan, doa, bunyi lonceng yang lembut, dan asap dupa. Semua ini merupakan upaya memanjatkan doa ke surga," ujar Bandem.

"Niat yang tulus dan hati yang murni tetap menjadi kunci dalam memenuhi ritual ini."

Dewa Gede Bawa, seorang guru yoga di Ubud, mengatakan jumlah wisatawan yang datang ke kota kelahirannya untuk menjalani Melukat meningkat secara pesat.

"Setelah masa pandemi, banyak orang ingin berwisata sekaligus menyembuhkan diri. [Setelah terjebak] di rumah selama beberapa bulan, orang-orang mengalami depresi. Itu sebabnya mereka datang ke tempat seperti Bali untuk terhubung kembali [dengan] diri mereka sendiri."

Gede menghargai peningkatan minat terhadap tradisi Bali ini.

Di sisi lain, dia berharap pihak-pihak yang berpartisipasi dalam Melukat tidak melupakan fakta bahwa ini adalah tradisi keagamaan.

"Selama empat atau lima tahun terakhir, [saya merasa] tradisi ini terlalu diekspos. Sejumlah [orang memperlakukannya] seperti tren [dan] itu membuat saya agak khawatir. Saya tidak mau keaslian makna Malukat menjadi hilang."

Wisatawan diizinkan untuk mengikuti upacara Melukat selama mereka berpakaian sopan dengan sarung dan tidak sedang menstruasi.

Tidak sedikit pengunjung yang tidak menghargai tradisi ini. Contohnya adalah sebuah klip yang viral di media sosial memperlihatkan seorang turis pria yang mengikuti Melukat di Pura Tirta Empul tanpa mengenakan sarung.

ede mengatakan bahwa orang Bali perlu bijaksana dalam membagikan pengetahuan mereka.

"Ini adalah tantangan yang kita hadapi sekarang apalagi setelah ekonomi terdampak pandemi. Banyak orang putus asa dan ingin memperoleh sesuatu dari kearifan atau budaya yang kita miliki. Akibatnya, mereka sering lupa bahwa ada aturan yang harus kita jaga."

Bandem menganjurkan kepada siapa pun yang ingin menjalankan Melukat agar mencari bimbingan dari pemangku agama untuk memastikan urutan ritual berakar pada tradisi.

Selain itu, Bandem mengingatkan kesungguhan dari Melukat bisa saja luntur apabila orang-orang terlalu mementingkan selfie alias swafoto serta aspek komersial lainnya.

"Malukat tidak dimaksudkan untuk menjadi tontonan yang megah. Malukat seharusnya terasa tulus, hormat, dan membumi secara spiritual. Siapa saja yang mengikuti [Malukat] semestinya merasa jernih di hati setelah ritual usai," kata Bandem. ***