Alasan Tangan Bionik Canggih Gagal, dan Berikut Cara AI Memperbaiki Masalah Tersebut
RIAU24.COM - Tangan bionik canggih bertenaga AI saat ini dapat meniru tangan manusia secara alami dalam hal gerakan dan desain.
Namun, banyak penderita amputasi berhenti menggunakannya.
Menurut para peneliti di Universitas Utah, hingga 50 persen orang dengan amputasi anggota tubuh bagian atas meninggalkan prostesis bionik canggih.
Alasan utamanya, kata para ahli, bukanlah perangkat keras tetapi kontrol.
Mengapa banyak pengguna meninggalkan tangan bionik?
Jake George, seorang insinyur listrik dan komputer di Universitas Utah, mengatakan bahwa tangan bionik modern sulit dioperasikan dalam kehidupan sehari-hari.
“Tujuan kami adalah membuat lengan bionik lebih intuitif, sehingga pengguna dapat melakukan tugas tanpa harus memikirkan setiap gerakan,” kata George.
Tangan alami mengandalkan refleks otomatis.
Misalnya, ketika suatu objek mulai tergelincir, sensor di ujung jari menyesuaikan kekuatan genggaman dalam 60 hingga 80 milidetik, tanpa usaha sadar.
Sebagian besar tangan bionik komersial tidak memiliki respons otomatis ini. Pengguna harus mengontrol kekuatan genggaman dan posisi jari secara manual, seringkali melalui:
Aplikasi seluler dengan mode genggaman yang telah ditentukan sebelumnya
Sinyal otot ditangkap menggunakan elektromiografi permukaan.
Para peneliti mengatakan ini memberikan beban mental yang berat pada pengguna, membuat tindakan sederhana menjadi melelahkan.
Cara kerja 'kopilot' AI
Untuk mengatasi hal ini, tim peneliti mengembangkan asisten pilot berupa tangan bionik bertenaga AI.
Menurut penelitian tersebut:
Tim tersebut memodifikasi tangan bionik yang sudah ada. Ujung jari diganti dengan sensor tekanan dan jarak. Sensor ini mendeteksi jarak dan kekuatan genggaman secara real-time. Pengontrol AI memproses data ini dan secara otomatis menyesuaikan setiap jari.
Dengan berulang kali menyentuh dan melepaskan objek, sistem tersebut belajar cara menggenggam benda tanpa menghancurkan atau menjatuhkannya.
“Tangan secara alami beradaptasi dengan objek. Setiap jari bergerak secara independen,” jelas George.
Kontrol bersama tetap menempatkan manusia sebagai penanggung jawab. Tidak seperti sistem prostetik otonom sebelumnya, AI ini tidak mengambil kendali penuh.
Para peneliti merancangnya sebagai sistem kontrol bersama, di mana:
- Pengguna tetap memegang kendali.
- AI tersebut membantu secara diam-diam di latar belakang.
- Pengguna masih dapat mengencangkan, melonggarkan, atau melepaskan benda kapan saja.
“Ini bukan mobil otonom,” kata George. “Ini membantu tanpa harus melawan pengguna,” tambahnya.
Tingkat keberhasilan meningkat hingga 90 persen dalam pengujian.
Tangan bionik bertenaga AI tersebut diuji pada penderita amputasi dan non-amputasi dalam kondisi laboratorium.
Para peserta diminta untuk:
- Ambil gelas kertas dan minumlah.
- Pindahkan benda-benda rapuh seperti telur.
Hasil menunjukkan:
- Tanpa AI: tingkat keberhasilan adalah 10-20 persen.
- Dengan bantuan AI, tingkat keberhasilan meningkat menjadi 80-90 persen.
AI tersebut juga mengurangi upaya mental, memungkinkan pengguna untuk lebih sedikit fokus pada pengendalian tangan.
Masih terlalu dini, tetapi menjanjikan.
Para peneliti memperingatkan bahwa teknologi ini masih dalam tahap pengujian.
“Tangan ini belum senatural anggota tubuh biologis,” ungkap para peneliti.
Langkah selanjutnya adalah pengujian di dunia nyata di lingkungan rumah.
Tim juga sedang mengerjakan:
- Elektromiografi internal
- Teknologi antarmuka saraf
- Kemitraan untuk uji klinis yang lebih besar
“Tujuannya adalah untuk menggabungkan AI, robotika, dan antarmuka saraf ke dalam satu perangkat,” kata George.
(***)