Menu

Bagaimana Hukum Seorang Wanita Ingin I'tikaf di Masjid

Riko 31 May 2019, 22:58
Foto (internet)
Foto (internet)

RIAU24.COM -  Pada dasarnya, wanita berhak untuk menjalankan itikaf sebagaimana yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah Radhiyallahu’anha:

Artinya, “Dari Aisyah RA, Nabi Muhammad SAW beri'tikaf pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Aktivitas itu dilakukan hingga beliau wafat. Kemudian para istrinya mengikuti i'tikaf pada waktu tersebut sepeninggal Rasulullah SAW,” (HR Bukhari dan Muslim).

Jika mengacu pada hadis diatas, terdapat kebolehan bagi wanita untuk menjalankan ibadah itikaf sebagaimana yang dilakukan oleh istri-istri Rasulullah.

Dalam kitab Ibanatul Ahkam Syarh Bulughil Maram karya Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki, wanita diperbolehkan itikaf asalkan mendapat izin dari suaminya dan yakin bahwa dirinya terhindar dari fitnah seperti godaan atau gunjingan dari orang lain.

Dalam hal ini, Sayyidah Aisyah meriwayatkan:

“Nabi Muhammad. biasa beriktikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan. Aku mendirikan tenda untuk beliau. Kemudian beliau melaksanakan shalat Shubuh dan memasuki tenda tersebut. Hafshah meminta izin pada Aisyah untuk mendirikan tenda, Aisyah pun mengizinkannya. Ketika Zainab binti Jahsy melihatnya, ia pun mendirikan tenda lain.

Ketika di subuh hari lagi Nabi saw, melihat banyak tenda, lantas diberitahukan dan beliau bersabda: “Apakah kebaikan yang kalian inginkan dari ini?” Beliaupun meninggalkan iktikaf pada bulan ini dan beliau mengganti dengan iktikaf pada sepuluh hari dari bulan Syawal.” (HR. Al-Bukhari)

Dalam menjelaskan hadis tersebut, Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani mengutip pendapat Ibnu Mundzir bahwa wanita haruslah meminta izin suaminya jika ia berniat untuk itikaf. Apabila ia telah itikaf tanpa izin dan suaminya pun melarang, maka sang suami berhak menyuruh istrinya keluar dari itikaf.

Menurut ulama Hanafiyah, seorang suami boleh saja melarang istrinya untuk itikaf meski pada awalnya ia membolehkan. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa suami tidak boleh mencabut izin itikaf bagi istrinya.

Imam Ibnu Hajar menegaskan, “Jika wanita ingin melaksanakan iktikaf di masjid, maka hendaknya menutupi diri (dari pandangan laki-laki). Disyaratkan bagi wanita untuk berdiam diri di masjid selama tempat tersebut tidaklah menggangu (menyempitkan) orang-orang yang shalat.”

Syarat untuk orang yang itikaf yaitu muslim, mumayyiz, suci dari junub, haid dan nifas. Adapun bagi wanita, ia juga harus mendapatkan izin dari mahramnya seperti ayah, suami atau walinya. Iapun harus menjaga kehormatan dirinya dan menjaga dirinya agar terhindar dari marabahaya. Ia pun harus menutup auratnya dan tidak mengganggu orang lain yang juga beribadah di masjid.

Bolehkah wanita yang sedang istihadah melaksanakan itikaf?

Sebagaimana dalam shalat, wanita yang mengeluarkan darah penyakit atau darah istihadhah diperbolehkan untuk itikaf. Karena darah istihadhah termasuk najis, maka seorang wanita yang istihadhah harus yakin bahwa darah yang keluar tidak akan mengotori masjid dengan menggunakan pembalut atau menyiapkan alat untuk ia duduki.

Kebolehan ini didasarkan pada hadis riwayat Aisyah yang menyatakan bahwa istri-istri Rasulullah SAW juga pernah beri’tikaf di masjid dan di antara mereka sedang istihadhah.

Dari ‘Aisyah berkata, Sebagian Ummul Mukminin melakukan iktikaf sementara di antara mereka ada yang mengeluarkan darah istihadlah. (HR. Al-Bukhari nomor 311).

Dari Aisyah RA, ia berkata : Ada seorang dari isteri-isteri Beliau yang ikut beri’tikaf bersama Saw dalam keadaan istihadhah. ‘Aisyah radliallahu ‘anha melihat ada darah berwarna merah dan kekuningan sedangkan di bawahnya diletakkan baskom sementara dia mengerjakan shalat (HR. Bukhari)

Kesimpulannya, seorang wanita boleh melakukan itikaf di masjid dengan izin mahramnya serta dapat menjaga kehormatan dirinya sebagai wanita.


Sumber: Muslimahdaily