Menu

Perempuan Indonesia Diminta Berani Tolak Seks Oral, Ini Alasannya

Riki Ariyanto 6 Aug 2019, 12:52
Perempuan Indonesia diminta berani tolak seks oral (foto/ilustrasi)
Perempuan Indonesia diminta berani tolak seks oral (foto/ilustrasi)

RIAU24.COM -  Sabtu 6 Agustus 2019, Ketua Kelompok Studi Infeksi Menular Seksual Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit Dan Kelamin Indonesia (Perdoski) Hanny Nilasari meminta agar perempuan berani menolak seks oral. Apalagi RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) mencakup larangan seks oral yang dianggap hubungan seks yang tidak lazim.

"Itu berbahaya karena menjadi pintu masuknya virus dan bakteri. Itu yang harus kita informasikan kepada masyarakat kalau jalur mulut itu bukan jalur yang aman," sebut Ketua Kelompok Studi Infeksi Menular Seksual Perdoski, Hanny dilansir dari Antaranews, Selasa (6 Agustus 2019).

zxc1

Bagi Hanny, biota yang berkembang di organ genital perempuan dengan biota yang hidup di mulut berbeda. Apalagi mulut merupakan jalur yang paling cepat menularkan virus dan bakteri ke tubuh, sehingga rawan menyebabkan infeksi.


Maka tindakan memaksa pasangan berhubungan seks oral termawuk suatu tindakan yang menyimpang dan mesti diatur lebih lanjut lewat RUU PKS. "Memang itu (tindakan memaksa oral) bukan menjadi tindakan kejahatan secara harfiah ya, tetapi sebagai perempuan kalau kita tahu itu berisiko infeksi. Tentunya kita bisa menolak," lanjut Hanny.

zxc2

Hanny tuturkan data infeksi menular seksual (IMS) pada anak dengan kekerasan seksual meliputi keadaan patologis berat dan infeksi saluran reproduksi berat serta dapat menimbulkan komplikasi yang prevalensinya 1-20 persen dari total kejadian kekerasan seksual.

"Untuk itu, ketika kesakitan meningkat, angka kematian karena infeksi meningkat, bukannya menjadi beban negara?" jelas Hanny.

Sementara itu Wakil Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Sri Astuti menilai pelaku kekerasan seksual harus dipidana dan didenda akibat tindak kejahatan yang dilakukannya. Sebab menimbulkan kerugian dan penderitaan yang dialami korban kekerasan seksual.

"Terjadi kerugian ekonomi, maka pelaku harus memberikan kompensasi kepada korban sebesar Rp 100 juta hingga Rp 1 miliar. Sedangkan pidana bagi pelaku kejahatan seksual adalah 15 tahun penjara," kata Sri Astuti.

Selain di RUU PKS, soal hubungan tidak lazim muncul di RUU KUHP. Di Belanda termasuk Eropa umumnya, gaya hidup berhubungan seks di luar kebiasaan itu lazim dilakukan. Di Indonesia, budaya itu akan dikriminalisasi sebagai bentuk pidana.