Menu

Mengenal Lebih Dekat Balai Kerapatan Tinggi Siak, Saksi Bisu Kekuasaan Kerajaan Siak

Lina 7 Sep 2019, 18:48
 Balai Kerapatan Tinggi Siak/lin
Balai Kerapatan Tinggi Siak/lin

RIAU24.COM -  SIAK - Bangunan ini berada di lima puluh meter ke arah Barat dari Masjid Syahabudin. Berdiri kokoh dengan kolom-kolom berukuran sepeluk manusia dewasa, kolom-kolom di bangunan ini perpaduan antara kolom bergaya Ionic, Yunani sebagai kolom utama dan kolom kayu berukuran kecil.

Bangunan ini dibangun dengan langgam Bangunan ini berada di lima puluh meter ke arah barat dari Mesjid Syahabudin. Berdiri kokoh dengan kolom-kolom berukuran sepeluk manusia dewasa, kolom-kolom di bangunan ini perpaduan antara kolom bergaya Ionic, Yunani sebagai kolom utama dan kolom kayu berukuran kecil.

Bangunan ini dibangun dengan langgam Indische Empire Style atau Neo klasik, pada zamannya kegiatan yang berlangsung di bangunan ini adalah penobatan raja, musyawarah pembesar kerajaan, dan persidangan.

Aliran neo klasik adalah sebuah aliran arsitektur yang berkembang di Indonesia pada zaman Hindia Belanda, aliran ini dikenalkan oleh Gubernur Hindia Belanda yang ke-36, Maarschalk en Gouverneur Generaal Herman William Daendels yang memerintah dari tahun 1808 sampai dengan 1811.

Bangunan dua lantai ini dibangun pada tahun 1886, tiga tahun setelah gunung Krakatau meletus di Selat Sunda, di bawah pemerintahan Sultan Hassim Abdul Jalil Saifuddin, sultan yang kesebelas dari sebuah kerajaan yang dahulunya adalah kerajaan besar di Pesisir Timur Sumatra.

Bangunan ini bernama Balai Kerapatan Tinggi. Salah satu bangunan yang berumur lebih dari seratus tahun di kota Siak. Balai kerapatan tinggi dibangun dengan cara gotong-royong yang melibatkan penduduk yang mendiami wilayah Datuk Empat Suku, yaitu Datuk Suku Tanah Datar, Datuk Suku Pesisir, Datuk Suku Lima Puluh, dan Datuk Suku Kampar.

Di tahun 1937, balai ini direnovasi oleh pemerintah Hindia Belanda. Pintu masuk dari bangunan berbentuk persegi empat dengan ukuran 30.8 x 30.2 meter persegi berupa tangga yang terbuat dari beton, dengan letak pintu masuk balai kerapatan tinggi berada di tepi sungai Siak-sungai terdalam di Indonesia. Pintu keluar dari balai adalah dua buah tangga yang berbeda.

Tangga besi berada di sebelah kanan, sedangkan tangga kayu berada di sebelah kiri. Tangga kayu dan besi ini memiliki makna tertentu, jika kita dinyatakan tidak bersalah dalam persidangan, kita akan turun dari tangga besi. Sedangkan jika dinyatakan bersalah dalam persidangan, kita akan turun dari tangga kayu.

Seratus tahun kemudian bangunan ini dijadikan sebagai museum budaya dan warisan Siak. “Masuklah, tak perlu bayar. Buka sandalnya terlebih dahulu,” sambut penjaga gedung. Sepertinya, bangunan ini kalah pamor dari Istana Siak. Hanya saya sendiri pengunjung siang itu. Gedung kerapatan sendiri terdiri atas dua lantai, lantai pertama terdiri dari tiga ruangan yang dahulunya berfungsi sebagai kantor dan ruang Tuan Kadi kerajaan. Sekarang,tiga ruangan ini difungsikan sebagai ruangan penyimpan koleksi museum.

Di ruangan tengah, yang merupakan ruang terbesar di lantai satu, terdapat koleksi parang dan alat penggiling karet menjadi lempengan. Selain itu, terdapat koleksi alat penangkap ikan seperti bubu yang digantung pada tembok bangunan yang dicat krem. Koleksi permainan rakyat yang dahulu dimainkan oleh anak-anak juga bisa dilihat di lantai satu.

Congklak (dakon) dan layang-layang adalah beberapa koleksi permainan yang ada di museum ini. Sayangnya, saat saya datang, koleksi-koleksi dari museum ini belum ditata dengan rapi, selain itu, rak-rak kayu pada ruangan di sebelah kiri dan kanan di lantai satu masih kosong, belum diisi dengan koleksi museum.

Sebelum berpindah ke lantai dua, ada sebuah pemandangan yang menarik di lantai satu. Di bagian atas dinding dinding museum. Terdapat foto-foto kegiatan dari Sultan Siak kesebelas, ayah dari Sultan Syarif Kasim II, Sultan Hassim Abdul Jalil Saifuddin yang sedang berkunjung ke Belanda saat penobatan Ratu Belanda Wilhelmina di tahun 1889 bersama Raja Kutai Kertanegara dan Raja Solo, selain itu juga terdapat foto dari Sultan Siak kedua belas, Sultan Syarif Kasim II yang menggunakan baju kebesarannya.

Suasana di lantai dua balai kerapatan adat pengap. Kaca-kaca yang ada di ruangan lantai dua ditutup semua. Akibatnya, keringat bercucuran di kening bahkan membasahi ketiak. Jika di lantai satu dari museum menggunakan lantai granit, di lantai dua terbuat dari kayu. Saya naik melalu tangga besi yang sudah dicat berwarna kuning. Pada bagian tengah lantai dua terdapat sebuah ruang utama yang menyimpan singgasana kerajaan Siak serta replika dari mahkota kerajaan Siak.

Di depan singasana kerajaan, terdapat kursi-kursi kayu yang disusun menyerupai sebuah ruangan persidangan. Foto hitam putih yang diletakkan di atas pigura di depan singgasana sudah menggambarkan bagaimana zaman dahulu, saat Sultan Siak bersidang di lantai dua balai ini.

Selain koleksi kursi-kursi tua kerajaan, terdapat koleksi yang mencuri perhatian di lantai dua. Pada koridor di lantai dua, terdapat koleksi dari surat-surat pada zaman kerajaan Siak masih berdiri. Surat-surat ini dicetak di atas kertas mengkilap yang berukuran 50 cm x 50 cm. Surat-surat berbahasa Belanda dan ejaaan lama ini bertahun 1927 sampai dengan 1936.

Sebagian besar isi surat ini menceritakan kegiatan Sultan, seperti undangan menghadiri pasar malam di Deli Serdang, pelantikan kontroler di Pekanbaru, pemindahan kontroler Belanda di Siak dan Sungai Pakning, serta kontrak hasil bagi pertanian di Siak. Saya langsung membayangkan pada zaman dahulu dengan menggunakan penerangan lampu lilin, Sultan Syarif Kasim II membalas surat dari kerajaan Deli Serdang.

Suara derak tangga kayu saat turun menjadi penutup perjalanan di Siak. Balai Kerapatan Tinggi kerajaan Siak, salah satu saksi kejayaan kerajaan Siak yang patut untuk dikunjungi.***


R24/phi/lin