Mahfud MD Minta Revisi UU KPK Ditunda Agar Tak Cacat Formil
RIAU24.COM - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar menunda sementara pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi atau revisi UU KPK.
Dia menilai pembahasan revisi UU KPK lebih baik dilakukan pada periode 2019-2024 supaya prosedurnya memenuhi pengujian formal.
Mahfud menyebut UU KPK masuk dalam kategori UU biasa, sehingga dalam setiap pembahasan rancangannya harus dilakukan dengan asas keterbukaan dan melalui beberapa tahapan sebelum bisa disahkan. Sementara masa kerja DPR periode 2014-2019 kini hanya tersisa 18 hari lagi.
"Prosedurnya dibahas dulu kemudian pandangan umum di fraksi-fraksi disampaikan ke presiden. Presiden juga membahas diberi waktu 60 hari menurut Pasal 49 UU No.12 Tahun 2011. Ini DPR sudah akan bubar 18 hari lagi, lalu kapan membahasnya kalau normal?" kata Mahfud melansir dari CNN. Minggu (15/9).
Mahfud menambahkan dalam UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, asas keterbukaan juga meliputi dengar pendapat dari masyarakat seperti melakukan kunjungan studi ke berbagai universitas. Sehingga pembahasan UU, kata Mahfud, rata-rata paling tidak membutuhkan waktu sekitar empat bulan.
Mahfud berharap runutan prosedur itu dijalankan sebagaimana mestinya seperti yang sudah diatur secara hukum. Terlebih revisi UU tersebut tidak masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2019.
"Tapi yang jelas sekarang ini, dia tidak ada di prolegnas tahun 2019, kemudian naskah akademiknya juga belum ada, kemudian belum disosialisasikan juga karena tidak ada seorang pun yang tahu apa sih isi sebenarnya, termasuk KPK," kata Mahfud.
Oleh kerena itu Mahfud menganggap lebih baik pembahasan RUU KPK ditunda terlebih dahulu agar prosedurnya tidak cacat secara formal. Sebab bila nanti diajukan ke Mahkamah Konstitusi dan pengujian prosedurnya dinilai tidak memenuhui pengujian formal maka tidak menutup kemungkinan rancangan tersebut dibatalkan.
Mahfud menjelaskan pembatalan itu bukan hanya sebatas pada materi isinya saja, namun bisa berlaku secara keseluruhan, termasuk batang tubuh sampai ujungnya semua akan dibatalkan.
"Kalau uji materi itu kan mungkin pasal sekian salah, pasal sekian kurang kata ini kalimatnya keliru. Itu uji materi. Kalau uji formal salah, semua gitu. Nah kecuali nanti MKnya kena angin saya tidak tahu," ucap Mahfud.
Terlepas dari prosedur pembahasan yang dinilai masih cacat secara formal, menurut Mahfud isi materi dari RUU KPK sudah cukup bagus. Sebab pembahasan materi juga sudah didiskusikan sejak lama dan memang harus segera diputuskan. Mahfud melihat permasalahan utama ada pada prosedurnya yang perlu diperbaiki sesuai dengan hukum yang berlaku.
"Tetapi mari prosedurnya mendengar masyarakat agar nanti materi yang bagus ini bisa lebih bagus lagi atau jangan-jangan ada yang lebih bagus pembandingnya kan gitu. Itu perlunya kita punya UU No. 12 Tahun 2011 tentang pembetukan peraturan perundang-undangan jelas aturannya disitu," pungkasnya.
DPR RI telah memutuskan untuk membahas revisi UU KPK yang tertunda sejak 2017. Pada rapat paripurna Kamis (5/9), sepuluh fraksi di DPR pun mentetujui revisi UU KPK sebagai inisiatif DPR. Mereka langsung mengirimkan surat sekaligus draf revisi UU KPK kepada Presiden Jokowi
Setelah itu, Jokowi merespons dengan menerbitkan surat presiden (surpres) untuk memulai pembahasan revisi UU KPK pada Rabu (11/9). Jokowi mengutus Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Syafruddin mewakili pemerintah menyampaikan sikap dan pandangan terkait substansi revisi UU KPK yang diinisiasi DPR.
Jokowi menyatakan bahwa pihaknya menolak beberapa poin dalam draf revisi UU KPK yang disusun oleh DPR. Sejumlah poin yang ditolak oleh Jokowi antara lain soal izin pihak luar untuk penyadapan, penyidik dan penyelidik KPK hanya dari unsur kepolisian dan kejaksaan, koordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam hal penuntutan, dan terakhir pengelolaan LHKPN yang dikeluarkan dari KPK.
Meskipun demikian, Jokowi menyetujui beberapa poin dalam revisi UU KPK ini. Poin-poin yang dirinya setujui adalah soal keberadaan dewan pengawas, kewenangan KPK mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), dan menyetujui pegawai, termasuk penyelidik dan penyidik KPK berstatus aparatur sipil negara (ASN).