Menu

Periksa Mantan Pejabat Pelindo II Ini yang Didalami KPK

Riki Ariyanto 22 Oct 2019, 11:20
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pemeriksaan terhadap adik mantan Komisioner KPK, Bambang Widjojanto, Haryadi Budi Kuncoro dalam kasus dugaan korupsi pengadaan QCC di PT Pelindo II Persero (foto/ilustrasi)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pemeriksaan terhadap adik mantan Komisioner KPK, Bambang Widjojanto, Haryadi Budi Kuncoro dalam kasus dugaan korupsi pengadaan QCC di PT Pelindo II Persero (foto/ilustrasi)

RIAU24.COM - JAKARTA- Pada Senin (21/10/2019) kemarin, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pemeriksaan terhadap adik mantan Komisioner KPK, Bambang Widjojanto, Haryadi Budi Kuncoro dalam kasus dugaan korupsi pengadaan QCC di PT Pelindo II Persero.

zxc1

Menurut Juru Bicara KPK Febri Diansyah, pemeriksaan mantan Senior Manajer Peralatan PT Pelindo II itu karena mengetahui bagaimana proses pengadaan QCC tersebut.

"Penyidik mendalami keterangan saksi terkait dengan proses pengadaan QCC di Pelindo II," kata Febri saat dihubungi wartawan, Jakarta, Selasa (22/10/2019).

Haryadi sendiri ketika menyudahi pemeriksaan KPK enggan berkomentar apapun.

zxc2

Selain Haryadi pada Seni kemarin, KPK memeriksa Direktur Operasi dan Teknik PT Pelindo II Ferliady Noerlan.

Dalam kasus ini, KPK baru menetapkan mantan Dirut PT Pelindo II RJ Lino sebagai tersangka karean diduga menyalahgunakan wewenangnya dengan menunjuk langsung HDHM dari China dalam pengadaan tiga unit QCC.
 

Pasalnya, QCC untuk pelabuhan di Pontianak, Palembang, dan Lampung itu menghabiskan dana sekitar Rp100 miliar dan dianggap kemahalan.

Lino sempat menggugat penetapannya sebagai tersangka melalui praperadilan. Namun, gugatannya ditolak dengan alasan dalil praperadilan tidak dapat diterima dan jawaban KPK atas dalil itu sesuai undang-undang.

Sebelumnya, Ketua KPK Agus Rahardjo menyebut kasus RJ Lino akan dilimpahkan pada Juli 2019. Namun, kenyataannya kasus itu tak kunjung dilimpahkan.

Agus mengatakan, penanganan kasus tersebut berlangsung cukup lama lantaran KPK kesulitan menentukan kerugian negara. (R24/Bisma)