Menu

Dugaan Korupsi Proyek QCC, KPK: Otoritas RRC Kurang Kooperatif

Riki Ariyanto 27 Nov 2019, 21:31
Komisi Pemberantasan Korupsi (foto/int)
Komisi Pemberantasan Korupsi (foto/int)

RIAU24.COM - JAKARTA- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode  M Syarif menyebutkan, lamanya penanganan perkara kasus dugaan korupsi proyek pengadaan quay container crane (QCC) yang menjerat mantan Direktur Utama PT Pelindo II, RJ Lino karena kurangnya kooperatif otoritas Republik Rakyat China (RRC) dalam memberikan informasi harga pembanding atas quay container crane (QCC).

zxc1

Hal ini penting, kata Syarif, untuk menetapkan berapa besaran pastinya kerugian negara. Namun, dari dokumen yang ada tidak menunjukan secara pasti berapakah harga QCC.

"Betul Waktu itu saya dengan Pak Agus sudah di Beijing mau minta itu, (tapi) di-cancel pertemuannya. Setelah itu apa yang kita lakukan pihak otoritas China tidak kooperatif," ujarnya saat rapat dengan Komisi III DPR, Jakarta, Rabu (27/11/2019).

Persoalan RJ Lino sendiri menjadi pembahasan dalam rapat tersebut karena menjawab pertanyaan Wakil Ketua Komisi III Desmon J Mahesa atas perkara mana saja yang akan diSP3 oleh KPK.

zxc2

Kemudian, dijawab oleh Wakil Ketua KPK Alexander Marwata tidak ada perkara yang akan dihentikan. Begitu juga dengan perkara RJ Lino yang sudah berusia 4,5 tahun.


"Kalau soal tersangka yang meninggal itu ada empat orang tentu akan dilakukan sesuai dengan aturan KUHAP untuk selebihnya tidak ada, jadi hanya empat orang saja sebetulnya," katanya.

Alex pun menjelaskan, untuk perkara RJ Lino pihaknya belum mendapatkan rincian kerugian negara.

Atas jawab tersebut, Anggota Komisi III Benny K Harman pun menyebutkan, berarti KPK melakukan mal administrasi. "Karena untuk menetapkan tersangka itu harus ada dua alat bukti ini kok belum ada alat bukti sudah menetapkan tersangka" tuturnya.

Alex pun menjawab bahwa kasus RJ Lino ada warisan dari kepemimpinan periode yang lalu.

Mendengar hal itu pun, Benny kembali mencecar Alex dan pimpinan yang lainnya. Akhirnya, Laode pun angkat bicara apa yang sebetulnya terjadi.

Menurut Laode, pimpinan periode yang lalu sudah mendapatkan dua alat bukti yang cukup Namun, ketika akan masuk pengadilan kasus tersebut terganjal penghitungan alat bukti.

"Saya katakan sudah ada, tetapi ketika jaksa mau masuk ke pengadilan, dia harus menghitung secara pasti berapa yang paling eksak (pasti) kerugian negaranya," kata Laode.

Benny pun kembali menanyaknya alasan mengapa ditetapkan sebagai tersangka meski tidak perhitungan kerugian negara. Laode pun menjawab, awalnya pihaknya mengandeng Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menghitung dengan syarat sudah ada perbuatan melawan hukum

Laode menyebut, KPK telah menanti penghitungan itu. "Tapi BPKP lama-lama hampir satu tahun lebih, dua tahun, nggak mau hitung. Saya kurang tahu apa yang terjadi," kata Laode.

Akhirnya, lanjut Laode, KPK memutuskan untuk meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan perhitungan. Bertahun-tahun, perhitungan itu pun tak kunjung selesai. Laode pun membeberkan alasan alasan yang muncul.

Alasan pertama, kata Laode, karena harga pembanding terkait barang korupsi di kasus itu tidak ada.

Laode juga menyebut, pihak otoritas Cina ini tidak kooperatif sehingga KPK meminta ahli menghitung komponen per komponen. Setelah itu, KPK membandingkan dengan harga di pasar dunia itu berapa. "Jadi, jangan anggap KPK itu tidak melakukan upaya maksimum. Bahkan ada satu tim forensik kami pergi, pretelin itu semuanya ke tempat lain," kata Laode. (R24/Bisma)