Menu

Momen Ini Disebut Jadi Bukti Nyata Bahwa KPK Memang Makin Lemah

Siswandi 13 Jan 2020, 17:02
Kantor DPP PDIP di Kawasan Menteng Jakarta Pusat. Hingga saat ini KPK belum bisa memastikan kapan akan melakukan penggeledahan di gedung tersebut. Foto: int
Kantor DPP PDIP di Kawasan Menteng Jakarta Pusat. Hingga saat ini KPK belum bisa memastikan kapan akan melakukan penggeledahan di gedung tersebut. Foto: int

RIAU24.COM -  Operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap komisioner KPU, Wahyu Setiawan, dinilai sejumlah kalangan telah membuka sebuah fakta baru. Hal itu adalah semakin lemahnya KPK dalam proses penegakan hukum terhadap korupsi di Tanah Air.  Hal itu tidak terlepas dari peran KPK yang baru, yakni Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 yang disahkan DPR tahun 2019 kemarin. 

Fakta yang dimaksud, adalah betapa sulitnya tim KPK menggeledah Kantor DPP PDIP di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. 

Seperti diketahui, beberapa saat setelah mengamankan Wahyu, tim penyelidik KPK berencana menyegel kantor DPP PDIP. Hal itu disebabkan kasus suap tersebut diduga melibatkan pihak dari PDIP. Salah satunya, dengan ditetapkannya Harun Masiku sebagai tersangka. Harun sendiri adalah kader PDIP yang kemudian dinyatakan telah dipecat setelah kasus itu mencuat. 

Namun rencana tim penyidik menyegal gedung itu tidak bisa terlaksana, karena dihalangi petugas keamanan. Hingga saat ini, rencana KPK untuk menggeledah kantor itu belum juga terwujud. 

Perihal makin lemahnya kinerja KPK tersebut, salah satunya dilontarkan  Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra, Desmond J Mahesa. Ia juga mengkritisii pernyataan KPK yang akan menggeledah Kantor DPP PDIP pada pekan depan. 

”Contohnya dalam kasus penggeledahan, yang diumumkan seminggu sebelumnya, itu adalah omong kosong. Tujuan penggeledahan itu, kan, agar barang bukti tidak dihilangkan,” katanya, dilansir kompas, Senin 13 Januari 2020.

Pada kasus dugaan suap terhadap Wahyu, ada jeda waktu cukup lama antara penangkapan atau penetapan tersangka dengan penggeledahan. Wahyu ditangkap pada Rabu (8/1/2020), sedangkan penetapan tersangka dilakukan pada Kamis (9/1/2020). Namun, Dewan Pengawas KPK baru menerima surat pengajuan izin penggeledahan pada Jumat sore, dan izin diberikan pada Jumat malam (Kompas, 12/1/2020).

Karena itu pula, tambah Desmond, saat UU KPK yang baru masih dibahas di DPR, Fraksi Gerindra DPR tidak setuju dengan adanya Dewan Pengawas KPK.

Berkaca pada kejadian OTT Wahyu itu, Desmond meminta Presiden Joko Widodo untuk mengeluarkan peraturan presiden yang mengatur teknis operasional dalam penggeledahan, penyitaan, dan penyadapan yang tidak menghambat kerja penindakan KPK.

Selain itu, ia juga meminta agar Komisioner KPK dan Dewan Pengawas KPK turut bersuara bahwa lembaga tersebut telah dilemahkan. ”Kita bisa lihat bahwa institusi maupun lembaga tidak mampu menggeledah (kantor) partai ini. Sebab, partai mereka sedang berkuasa pada saat ini,” ujarnya.

Pernyataan senada juga datang dari Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana mengatakan. Pihaknya melihat, lambatnya tim KPK dalam menggeledah Kantor DPP PDI-P karena membutuhkan izin dari Dewan Pengawas KPK. 

"Padahal dalam UU KPK lama (UU No 30 Tahun 2002) untuk melakukan penggeledahan yang sifatnya mendesak tidak dibutuhkan izin terlebih dahulu dari pihak mana pun," tutur Kurnia dalam keterangan tertulis, Minggu (12/1/2020) kemarin. 

Menurut logika sederhana,  tindakan penggeledahan yang bertujuan untuk mencari dan menemukan bukti tidak mungkin dapat berjalan dengan tepat dan cepat jika harus menunggu izin dari Dewan Pengawas. 

Hal itu belum ditambah persoalan waktu. Sebab, proses administrasi tersebut dapat dipergunakan pelaku korupsi untuk menyembunyikan bahkan menghilangkan bukti-bukti. 

"Dengan kondisi seperti ini dapat disimpulkan bahwa narasi penguatan yang selama ini diucapkan oleh Presiden dan DPR hanya ilusi semata," kata Kurnia. 

Tak hanya itu, kritikan juga dilontarkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Ketua Departemen Politik DPP PKS Pipin Sopian mengatakan, hal ini disebabkan UU KPK 19/2019 yang melahirkan birokrasi panjang dalam penelusuran kasus tindak pidana korupsi. 
"Ini bukti awal bahwa revisi UU KPK telah membuat pemberantasan korupsi di Indonesia jadi birokratis dan akhirnya memble," ujarnya, dalam keterangan tertulis, Senin (13/1/2020).

Begini Respon Istana 
Terpisah, Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman meminta semua pihak untuk memberi kesempatan kepada KPK untuk bekerja sesuai aturan baru tersebut. 

"Kita lihat saja, kita serahkan kepada Dewas KPK kepada pimpinan KPK yang sekarang. Beri kesempatan pada mereka untuk menjalankan undang-undang tersebut," kata Fadjroel di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.

Menurutnya, KPK harus bekerja sesuai UU Nomor 19 Tahun 2019 yang mengaturnya. Namun, Fadjroel juga memastikan bahwa Presiden Joko Widodo tak akan melindungi pihak yang tersangkut masalah hukum. Presiden tak akan mengintervensi meskipun kasus yang ditangani KPK melibatkan oknum di PDI-P, partai asal Jokowi. ***