Rakyat Myanmar Mulai Melawan, Ribuan Orang Turun ke Jalan Desak Aung San Suu Kyi Dibebaskan
RIAU24.COM - YANGON - Rakyat Myanmar akhirnya memilih melawan kelompok Junta Militer yang telah melakukan kudeta di negara tersebut. Untuk pertama kalinya sejak militer mengambil alih kekuasaan, ribuan orang turun ke jalan-jalan di Yangon mengecam kudeta oleh militer dan menuntut pembebasan pemimpin terpilih, Aung San Suu Kyi.
"Diktator militer, gagal, gagal; Demokrasi, menang, menang," teriak para pengunjuk rasa, Sabtu (6/2/2021), sambil mengusung spanduk bertuliskan "Melawan kediktatoran militer".
Banyak di antara demonstran yang berpakaian warna merah khas NLD. Beberapa orang juga membawa bendera-bendera merah. "Kami kehilangan kebebasan, keadilan, dan sangat membutuhkan demokrasi," tulis seorang pengguna Twitter. "Tolong dengarkan suara Myanmar."
Dilansir Ewpublika, demonstrasi pada Sabtu merupakan tanda pertama kerusuhan jalanan di Myanmar, negara yang dalam sejarahnya diwarnai dengan serangkaian tindakan keras berdarah terhadap pengunjuk rasa.
Demonstrasi anti kudeta pada Sabtu juga berlangsung di Melbourne, Australia, serta Taipei, ibu kota Taiwan. Sebelumnya, gerakan pembangkangan sipil telah berkembang di Myanmar sepanjang minggu ini.
Gerakan itu ditandai dengan aksi mogok kerja, antara lain oleh para dokter dan guru. Juga setiap malam, selalu ada orang-orang yang memukul-mukul panci dan wajan untuk menunjukkan kemarahan.
Selain sekitar 150 penangkapan yang dilaporkan oleh kelompok hak asasi manusia pascakudeta Senin, media lokal melaporkan sekitar 30 orang telah ditahan karena protes yang berisik.
Junta Myanmar telah mencoba membungkam perbedaan pendapat dengan memblokir sementara Facebook, juga Twitter dan Instagram pada Sabtu dalam menghadapi gerakan protes yang berkembang.
"Pihak berwenang memerintahkan penyedia layanan internet untuk tidak memberikan akses bagi Twitter dan Instagram sampai pemberitahuan lebih lanjut," kata perusahaan telepon seluler Norwegia Telenor Asa.
Permintaan untuk layanan VPN telah melonjak di Myanmar. Layanan tersebut memungkinkan segelintir orang masih bisa mengakses media sosial yang dilarang junta.
Namun, para pengguna VPN melaporkan gangguan pada layanan data seluler, yang diandalkan sebagian besar orang di negara berpenduduk 53 juta itu untuk mendapatkan berita dan berkomunikasi.***