Bagi Orang Indonesia Keturunan Tionghoa di Yogyakarta, Hukum Ini Menjadi Alasan Mengapa Mereka Tidak Bisa Memiliki Tanah
Meski terkesan melindungi tanah-tanah milik penguasa adat setempat, Dewi berpendapat bahwa undang-undang itu benar-benar dirumuskan untuk melindungi kepentingan Belanda, karena pada kenyataannya yang disebut tanah adat yang dilindungi itu dikerdilkan oleh ukuran tanah yang langsung berada di bawah kekuasaan Belanda. yurisdiksi.
Bahkan di bawah pembatasan seperti itu, pemilik tanah Cina kelas atas dapat menavigasi melalui sistem dan memperoleh kendali atas dua pertiga dari tanah yang tersedia secara komersial di luar hak adat, seringkali dengan bantuan pejabat kolonial.
Dewi percaya ini mungkin telah memotivasi Yogyakarta untuk memberlakukan larangan terhadap orang Cina, untuk mencegah mereka menguasai bagian tanah yang tidak proporsional. “Tetapi pemilik tanah besar ini adalah minoritas kecil di antara orang Cina. Sebagai ilustrasi, di kota seperti Semarang, hanya 10 orang yang akan menjadi orang Cina super kaya. Penduduk Tionghoa lainnya harus membayar sewa kepada pemilik tanah yang kaya seperti tetangga mereka,” jelas Dewi.
Identitas budaya
Tumbuh sebagai bagian dari dua subkultur Tionghoa Indonesia telah memberi Dewi wawasan tentang pertanyaan yang tersisa tentang identitas budaya bagi penduduk etnis Tionghoa di negara itu.
Ayahnya dibesarkan di kalangan “pribumi”, atau penduduk asli Indonesia, sementara ibunya berasal dari keluarga Tionghoa Peranakan perkotaan kelas menengah. Dia sering merasakan bentrokan antara dua subkultur dalam kehidupan keluarganya.