Menu

Tanda 'Kiamat' Disebut Makin Dekat Jelang Lebaran, Ada Apa?

Devi 10 Apr 2023, 15:14
Foto : Suara.id
Foto : Suara.id

RIAU24.COM - Dalam dua minggu mendatang ada tradisi yang tak bisa ditinggalkan untuk menyambut lebaran. 

Bukan soal menyantap nastar atau ketupat melainkan semarak pembelian busana baru.

Sejak Tunjangan Hari Raya (THR) turun masyarakat berbondong-bondong mengunjungi pusat perbelanjaan. 

Mereka berjejal dengan bungkusan belanjaan di kedua tangan, tak peduli berita turunnya perekonomian global, termasuk baju baru.

Nah, tradisi baju baru ini disadari atau tidak mempercepat "kiamat" di muka bumi. Apa yang terjadi?

Tradisi paten tiap lebaran ini membuat industri tekstil bergeliat. 

Industri memproduksi besar-besaran busana baru untuk memenuhi kebutuhan pasar.
Memang hasil dari bisnis ini memantik pertumbuhan ekonomi. 

Namun, di sisi lain, menimbulkan bahaya besar yakni limbah tekstil yang membuat bumi makin dekat menghadapi kepunahan massal.

Luz Claudio dalam riset "Waste Couture: Environmental Impact of the Clothing Industry" (Environmental Health Perspectives, 2007) memaparkan kalau setiap langkah dari proses produksi pakaian memiliki potensi dampak lingkungan. Tentu, ini berbahaya bagi lingkungan dan manusia. 

Sebagai contoh saat memproduksi satu kaos katun, berasal dari kapas, yang merupakan salah satu tanaman yang bergantung besar pada air dan pestisida dalam jumlah besar.

Zat kimia perusak lingkungan itulah yang membuat kapas tumbuh.

Belum lagi tahap produksi di pabrik. Di fase inilah masalah sesungguhnya terjadi. 

Bukan cuma buruh yang terkadang tidak diberi upah secara layak, mengutip laporan CNN International, proses pembuatan yang melibatkan zat kimia juga berperan penting merusak kehidupan di muka bumi. 

Untuk memastikan kualitas, kain berulangkali dicelupkan ke dalam pemutih dan formalin, limbah air bekas tekstil sebanyak 2.700 liter ini kemudian dibuang asal-asalan dan mencemari air tanah. 

Sekilas ini sudah parah, tetapi ada lagi yang lebih parah, yakni industri yang mengandalkan bahan sintesis berupa poliester untuk membuat kaos. 

Morgan McFall-Johnsen di situs WEForum memaparkan poliester adalah bahan plastik yang ditemukan di sekitar 60% pakaian masa kini. 

Fakta ini menjadi masalah karena poliester mampu melepaskan emisi karbon dua hingga tiga kali lipat dibanding kapas. 

Parahnya, bahan ini tidak bisa terurai di air.
Sehingga kaos berbahan poliester dicuci, akan ada ribuan zat mikroplastik yang dilepas ke dalam air. 

Karena mikroplastik tidak bisa terurai, zat ini bisa ikut serta dalam siklus hujan dan mengancam hidup manusia. 
Plastik tersebut dapat menempel di manusia, tumbuhan dan hewan. 

Tentu, yang menyerapnya dalam waktu lama dan terus-menerus akan sakit. 

Lantas, apa jadinya jika ada ribuan kaos diproduksi dalam satu waktu bersamaan?

Sudah pasti dampaknya terhadap lingkungan sangat besar. 

PBB menyebut industri busana bertanggung jawab atas seperlima polusi air dunia. Limbah tekstil berupa campuran karsiogenik dan logam berat merusak ekosistem perairan dan mencemari sumber air minum manusia. 

Mengacu pada situs Ecowatch, di China yang menjadi pusat garmen dunia, 70% sungai dan danaunya telah terkontaminasi 2,5 juta limbah tekstil. 

Di Bangladesh, no dua setelah China, ada sungai yang sangat beracun dan sama sekali tidak bisa dipakai akibat limbah tekstil. 

Masalah pun tak berhenti sampai disitu. Morgan McFall-Johnsen menyebut 85% tekstil yang diproduksi kenyataannya menjadi sampah dan tak lagi dipakai manusia setiap tahunnya dan alhasil, ini menjadi limbah yang berakhir di pembuangan.

Dengan segala dampak negatif yang membuat dunia bakal "kiamat", apakah manusia masih perlu membeli baju lebaran? Jika ingin ngotot beli baju, maka solusi satu-satunya adalah membeli baju berjenis slow fashion, yang super mahal tapi awet hingga bertahun-tahun. ***