Kenapa Misi Damai untuk Perang Rusia dan Ukraina Sulit Tercapai?
RIAU24.COM - Belakang, proposal damai perang Rusia-Ukraina menjadi perbincangan usai Menteri Pertahanna Indonesia Prabowo Subianto turt melempar usulan damai.
Usulan Prabowo terlontar saat ia pidato di pertemuan antar EMnhan Shangri-La Dialogue, Singapore,pada pekan lalu.
Pada kesmepatan itu, ada beberpa poin yang ia sarankan, yakni gencatan senjata, dan referendum di wilayah yang di sengketakan.
Namun, pihak pemerintah Ukraina menolak mentah-mentah dan menyatakan usulan itu lbeih mirip perspektid Rusia. proposal damai terkait perang bukan kali pertama diusulkan.
Hingga saat ini belum ada proposal damai yang diterima Rusia dan Ukraina. Ini menunjukkan proses damai sampai suuslan diterima begitu sulit.
Alasan sulit damai
Pengamat hubungan internasional dari Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS), Waffaa Kharisma, mengatakan sejauh ini belum ada yang betul-betul menjadi proposal perdamaian konkret.
"Masing-masing proposal lebih kepada mewakili posisi nasional masing-masing negara yang berbicara," ujar Waffaa kepada CNNIndonesia.com, Kamis (8/6).
Sejauh ini terdapat sejumlah negara yang mengajukan proposal damai, di antaranya China, Brasil, hingga Afrika. Namun, belum ada usulan yang diterima kedua pihak.
China disebut-sebut bakal berhasil mengajukan proposal damai itu. Rusia menyambut baik, dan Ukraina masih pikir-pikir.
Poin-poin yang tercantum dalam proposal China berisi nilai-nilai dan posisinya terhadap perang di Ukraina. Beijing, lanjut Waffaa, hanya akan mendukung upaya yang sesuai dengan poin di dalam proposal mereka.
"Tapi dia tidak berisi jalan atau pathway [semacam peta jalan]. Ke depan harus ngapain, tahun depan keduanya harus apa? Setelah itu, keadaan seperti apa yang perlu didahulukan dan bagaimana caranya," ujar dia.
Peta jalan semacam itu tak terjawab di dalam proposal China, lanjut Waffaa.
Terlepas dari peace plan itu, kondisi hari ini tak menunjukkan tanda-tanda Rusia dan Ukraina lelah.
Sementara itu, Rusia tak mungkin mundur, sebab bisa memicu gejolak politik dalam negeri.
Menyoal pihak ketiga, lanjut dia, harus ada beberapa negara yang bersatu, misalnya Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, Turki, Israel, dan China. Negara-negara ini mengawasi Rusia dan Ukraina untuk mematuhi perjanjian.
"Tapi, Rusia belum tentu mau," ujar dia.
Rusia dan Ukraina sempat beberapa kali terlibat negosiasi. Namun, baru sebatas tingkat menteri dan gagal mencapai gencatan senjata.
Radityo menilai sejauh ini belum ada irisan ide yang memungkinkan ada perdamaian. Waffaa juga punya pandangan serupa.
"Belum ada cukup preseden untuk kedua pihak dapat mencapai kesepakatan, karena isu kepercayaan masih rendah, apalagi karena trauma pelanggaran HAM di beberapa lokasi yang dilakukan agresor," ujar Waffaa.
(***)