Ngaku gegara Efek Long COVID, Wanita Ini Tak Bisa Kencing 3 Tahun
RIAU24.COM - Seorang wanita mengaku kondisi kesehatannya memburuk drastis akibat long COVID atau efek jangka panjang dari infeksi virus Corona.
Imbasnya, ia harus menggunakan selang di dadanya saat makan dan tak bisa buang air kecil selama tiga tahun.
Wanita itu adalah Abigail Snowball (29).
Ia didiagnosis mengidap kondisi langka yang dikenal sebagai sindrom fowler beberapa bulan setelah didiagnosis terkena Long COVID pada Juli 2020. Kandung kemihnya pun juga berhenti bekerja.
Seorang kenalannya, dari Northumberland, mengatakan bahwa Abigail jarang terlihat sakit dan sering bepergian sebelum terpapar COVID-19 pada awal 2020. Namun setelah terinfeksi, ia merasakan sakit yang sangat hebat di bawah tulang rusuknya.
Abigail memutuskan untuk ke dokter umum dan dirawat di Rumah Sakit Perawatan Darurat Spesialis Northumbria (NSECH) pada Juli 2020. Hasil pemindaian mengungkapkan bahwa Abigail mengalami perdarahan di hatinya.
"Saat itulah mereka mendiagnosis saya dengan Long COVID. Tidak ada penjelasan lain, karena mereka melakukan tes kelainan darah dan melakukan scan," imbuhnya Abigail kepada PA Real Life, dikutip dari The Independent.
"Mereka bertanya apakah saya jatuh atau kecelakaan, tetapi tidak ada apa-apa," katanya lagi.
Setelah menjalani perawatan intensif di rumah sakit, Abigail dinyatakan pulih dari perdarahan organ hatinya. Namun, pada suatu malam seorang perawat bertanya kapan terakhir kali dia buang air kecil.
"Sejak saat itu, kandung kemih saya tidak pernah berfungsi kembali. Itu benar-benar awal kesehatan saya menurun dengan cepat."
Dokter berharap blok kandung kemihnya hanyalah akibat dari trauma hati dan Abigail bisa sembuh. Namun, prediksi dokter pun salah.
Kondisi Abigail memburuk selama beberapa minggu terakhir dan berat badannya sekarang turun dengan cepat.
Kini ia bergantung pada suaminya Mark (34) untuk membawanya ke kamar mandi sehingga dia bisa mengosongkan kandung kemihnya. Adapun mengosongkan kandung kemihnya itu bisa memakan waktu hingga empat jam, dan belum bisa menikmati makanan selama hampir setahun.
"Saya sekarang tidur di sofa di lantai bawah dan suami saya Mark harus menggendong saya ke toilet dan kembali lagi," katanya.
Sindrom fowler paling sering disebabkan oleh infeksi atau setelah pembedahan atau trauma. Namun, kaitannya dengan long COVID masih belum dapat dipastikan dan diperlukan lebih banyak penelitian.
"Masih terlalu dini untuk mengatakan apakah long COVID merupakan pemicu sindrom Fowler; kami belum melihat peningkatan fowler dan retensi pasca-COVID, dan tidak ada indikator bahwa retensi urine semakin buruk," imbuh Dani Coombe, CEO Fowler's Syndrome UK
"Penelitian kami tentang apa yang diyakini pasien memicu retensi urine mereka menunjukkan bahwa infeksi adalah pemicu paling umum pada 57 persen, diikuti oleh operasi pada 32 persen pasien dan trauma pada 19 persen. Penting untuk melihat di tahun-tahun mendatang jika ada peningkatan jumlah wanita dengan Fowler karena trauma COVID-19," pungkasnya. ***