Banyak yang Keliru, Ini Penjelasan PUPR soal Konsep Tapera Potong Gaji Karyawan
RIAU24.COM - Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang digagas pemerintah dikritik oleh masyarakat Indonesia, termasuk sejumlah karyawan swasta.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menjelaskan kepesertaan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) mencakup pegawai swasta bukan untuk cicilan rumah. Tapi mendapatkan subsidi bunga cicilan KPR yang berada di angka 5% flat.
Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur PUPR Herry Trisaputra Zuna menjelaskan, tabungan yang dibayarkan peserta Tapera sektor swasta sebesar 3%, akan diakumulasikan selama setahun.
Jika peserta dinilai memenuhi syarat, maka baru bisa memanfaatkan Tapera untuk membeli rumah melalui skema KPR atau KBR dengan bunga flat 5%.
"Konsepnya banyak keliru, itu dipikir uang itu dipakai cicil (rumah), nggak. Dibuatkan dana tabungan tadi, kan tabungan orang iuran segitu banyak, uang yang dikumpulkan dimasukin ke investasi tadi," ujar Herry usai konferensi pers di Kantor Staf Presiden dikutip Jumat (2/6).
Herry menjelaskan, dengan adanya bunga sebesar 5% ini diharapkan akan meringankan masyarakat yang belum memiliki rumah untuk mencicil. Sebab punya bunga yang jauh lebih rendah dari bunga bank konvensional sebesar 11%.
Sedangkan untuk para pekerja yang sudah memiliki rumah, nantinya uang iuran yang sudah dibayarkan setiap bulan bisa diambil kembali ketika selesai masa kontrak atau kerjanya.
Sebab dikatakan Herry, konsep kepesertaan tapera ini semacam tabungan yang bisa diambil pada waktunya.
"Dari pemupukan ini dipakai untuk pakai KPR dengan bunga 5%, yang nabung mah nabung aja nanti di ujung kembali uangnya," sambungnya.
Lebih jauh, Herry menjelaskan bahwa konsep ini dibuat untuk mengejar kesenjangan masyarakat yang belum memiliki rumah yang disebabkan oleh mahalnya harga hunian saat ini.
Disatu sisi, ada pertumbuhan 700 ribu keluarga baru setiap tahunnya yang membutuhkan hunian, sedangkan angka backlog kepemilikan rumah saat ini saja masih ada sekitar 10 juta keluarga yang belum memiliki tempat tinggal.
Menurutnya, dalam mengejar target Indonesia emas tahun 2045, paling tidak setiap tahunnya harus disediakan sekitar 1,5 - 2 juta rumah baru untuk mengentaskan angka backlog pada tahun tersebut.
“Memang programnya harus di scale up, ini prinsipnya. Agar jumlahnya banyak gimana? artinya bagaimana investasi dapat return sebesar-besarnya," pungkas Herry.