Aneh Tapi Nyata, Stok Darah Masih Impor Padahal RI Populasi Ke-4 Terbanyak Dunia
RIAU24.COM - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengaku malu lebih dari 50 persen bahan baku obat berbasis plasma darah di Indonesia adalah impor. Bukan hanya itu, stok darah dari kebutuhan 5,2 juta kantong di Indonesia, baru bisa terpenuhi 4,2 juta.
"Padahal Indonesia itu dari populasi keempat terbesar di dunia, ada 280 juta orang," beber Menkes saat ditemui di agenda Pemberian Sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik di Unit Pelayanan Darah (UPD) RS Fatmawati, Senin (1/7/2024).
Bahkan, untuk pemenuhan kebutuhan plasma darah, angkanya jauh lebih rendah. Dari 350 ribu liter, baru bisa dipenuhi 145 ribu liter. "Sisanya impor," lanjutnya.
Menkes menyebut hal ini menjadi alasan obat berbasis plasma darah seperti albumin, IVIG, dan lainnya kerap langka dan mahal. "Ini masalah sudah mau 80 tahun merdeka, nggak selesai-selesai, baru dua RS yang CPOB, malu nggak itu?" tutur dia.
Dua rumah sakit vertikal yang mengantongi CPOB untuk produksi bahan baku obat berbasis plasma darah yakni RSUP Kariadi dan RSUP Fatmawati. Menkes menyesalkan selama ini belum banyak pihak yang memberikan perhatian produksi obat terkait sehingga harganya kerap melambung tinggi imbas masih impor.
"Faktanya RS vertikal paling besar belanja obat berbasis plasma darah," tandas dia.
Menkes menargetkan seluruh RS vertikal di 34 provinsi segera bisa memenuhi minimal kebutuhan stok atau pasokan darah. Bila sudah tercapai, selanjutnya RS diarahkan membuka produksi bahan baku obat berbasis plasma darah, ditargetkan rampung dalam satu tahun.
"Biar agak kerjanya serius sedikit sehingga darah berjuta-juta itu nggak usah impor dari yang lain," sentil Menkes.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI) Lucia Rizka Andalusia menyebut pembuatan obat plasma darah harus memenuhi standar kualitas yang baik dan benar.
Selain dua RS yang sudah mengantongi CPOB, sejumlah RS lain yakni RS Adam Malik, RS Kanker Dharmais, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo disebut akan menyusul. Rizka menilai perlu ada lebih banyak pengolahan bahan baku plasma darah untuk mencapai target yang diwacanakan rampung 2025 mendatang.
Senada, Direktur Utama RSUP Fatmawati Mohammad Syahril menyebut izin CPOB yang didapatkan, akan memudahkan UPD di RS untuk meningkatkan produksi dan memisahkan plasma, yang salah satunya diolah menjadi albumin.
"Produksi albumin lokal setelah mendapat CPOB, bisa membantu mengurangi ketergantungan terhadap impor," tutur dia. ***