Menu

Pakar Wanti-wanti Ancaman Pandemi Baru akibat Kebal Antibiotik

Devi 25 Sep 2024, 10:03
Pakar Wanti-wanti Ancaman Pandemi Baru akibat Kebal Antibiotik
Pakar Wanti-wanti Ancaman Pandemi Baru akibat Kebal Antibiotik

RIAU24.COM - Media sosial dihebohkan dengan kasus resisten atau 'kebal' antibiotik. Kondisi ini membuat bakteri yang ada di tubuh seseorang menjadi lebih 'kuat', sehingga memerlukan penanganan yang lebih ekstra. "Buat bapak-ibu pasien semuanya, mohon maap kalo saya bawel & 'pelit' soal antibiotik, kalo ga ada indikasinya. Kalo udah begini mau dikasih obat apa coba," tulis sebuah unggahan di X.

Mereka yang terkena resistensi antimikroba (antimicrobial resistance/AMR), dalam hal ini bakteri, tentu harus mendapatkan penanganan yang lebih spesial. Resistensi antibiotik merupakan masalah serius yang mengancam efektivitas pengobatan penyakit infeksi.

Epidemiolog Profesor Wiku Adisasmito menegaskan, jika permasalahan terkait resistensi ini tidak segera ditekan dengan serius, maka ini berpotensi menjadi 'pandemi' baru untuk manusia.

"Kebetulan saya fokusnya di AMR, dan AMR itu bisa menjadi tanda kutip pandemi baru ke depannya. Tapi masih jauh, tapi nanti kalau sudah terjadi susah untuk mundurnya," ujar Prof Wiku saat dihubungi detikcom, Selasa (24/9/2024).

"Karena sekali kita tergantung itu, terus resisten, jadinya susah (dapat obat)," sambungnya.

Dikutip dari laman Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes), Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes, dr Azhar Jaya mengatakan saat ini Indonesia tengah berhadapan dengan adanya peningkatan resistensi antimikroba di dua jenis bakteri.

"Data AMR di Indonesia secara khusus didapatkan dari data yang dilaporkan oleh rumah sakit sentinel yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan, di mana hasil pengukuran Extended-spectrum Beta-Lactamase (ESBL) tahun 2022 pada 20 rumah sakit sentinel site sebesar 68%," ungkap dr Azhar.

"Kemudian, di tahun 2023 pada 24 rumah sakit sentinel site sebesar 70,75% dari target ESBL tahun 2024 sebesar 52%. Angka ini menunjukan, adanya peningkatan resistensi antimikroba pada bakteri jenis Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae," lanjutnya.

Prof Wiku mengatakan, ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa angka AMR di Indonesia angkanya masih cukup tinggi. Pertama adalah penggunaan atau konsumsi antibiotik yang tidak tepat.

"Satu penggunaan tidak benar. Misalnya kan harus digunakan pada periode tertentu untuk bisa membunuhnya (bakteri). Kalau periodenya lama, kan meracuni atau digunakannya terlalu pendek, sama juga," kata Prof Wiku.

Menurut Prof Wiku, biasanya dokter akan memberikan periode konsumsi obat antara tiga sampai lima hari, bahkan bisa sampai tujuh hari.

"Karena cure-nya itu tiga sampai lima hari. Kalau bakterinya kuat, dokternya mungkin akan ngasih lima hari, ini juga kalau orangnya kuat. Kalau orangnya nggak kuat jadi nggak efektif," katanya.

"Kadang-kadang sampai tujuh hari, tapi biasanya tidak lebih dari itu. Kalau sudah dari itu, penyakitnya masih ada, kalau bakterinya masih ada berarti harus diganti antibiotik yang lain," lanjut dia.

Kedua, lanjut prof Wiku aturan terkait antibiotik ini sudah seharusnya diperketat. Menurutnya masih banyak apotek-apotek yang tetap melayani penjualan antibiotik ke masyarakat tanpa resep dokter.

Prof Wiku mengimbau kepada masyarakat untuk lebih waspada terkait dampak dari kesalahan penggunaan antibiotik. Pasalnya ini bukan 'obat dewa' yang dianggap bisa menyembuhkan berbagai penyakit. ***