8 Negara Terancam Kehabisan Stok Obat HIV Imbas USAID Ditutup

RIAU24.COM - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan sedikitnya delapan negara terancam kehabisan stok obat dan perawatan HIV imbas penyetopan bantuan luar negeri Amerika Serikat (AS). Dibubarkannya US Agency for International Development (USAID) atas instruksi Presiden AS Donald Trump, mengancam jiwa banyak orang dengan HIV.
Delapan negara tersebut di antaranya Haiti, Kenya, Lesotho, Sudan Selatan, Burkina Faso, Mali, Nigeria. Stok obat diperkirakan kosong dalam beberapa bulan ke depan.
"Keberatan terhadap program HIV dapat membatalkan kemajuan yang sudah terjadi selama 20 tahun," beber Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam konferensi pers, Senin (17/2/2025).
Tedros menilai hal ini bisa meningkatkan lebih dari 10 juta kasus baru HIV dan tiga juta kematian terkait HIV.
Upaya untuk menekan kasus HIV, polio, malaria, dan tuberkulosis telah dipengaruhi oleh penghentian bantuan luar negeri AS, ribuan kontrak pendaan dibatalkan.
Jaringan Laboratorium Global Campak dan Rubella yang dikoordinasi WHO, dengan lebih dari 700 lokasi di seluruh dunia, juga menghadapi penutupan diperkirakan terjadi dalam waktu dekat.
"Amerika Serikat memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa jika negara-negara menarik dana langsung mereka, hal itu dilakukan dengan cara yang tertib dan manusiawi yang akan memungkinkan mereka untuk menemukan sumber pendanaan alternatif," kata Tedros, dikutip dari Reuters, Senin (17/2).
Kurangnya dana juga dapat membuat 80 persen layanan perawatan kesehatan penting yang didukung oleh WHO di Afghanistan ditutup.
Hingga 4 Maret, 167 fasilitas kesehatan ditutup karena kekurangan dana. Tanpa intervensi yang mendesak, lebih dari 220 fasilitas lainnya dapat mengalami nasib yang sama pada bulan Juni.
Rencana Amerika Serikat untuk meninggalkan WHO juga telah memaksa badan PBB tersebut, yang biasanya menerima sekitar seperlima dari keseluruhan dana tahunannya dari AS, membekukan perekrutan dan memulai efisiensi anggaran.
WHO mengatakan pada hari Senin bahwa pihaknya berencana untuk memotong target pendanaan untuk operasi darurat menjadi USD 872 juta dari USD 1,2 miliar dalam periode 2026-2027. ***