Menu

Publik Respons Negatif Revisi UU TNI, Pengamat: Prabowo Harus Turun Gunung, Dengar Aspirasi Rakyat 

Zuratul 26 Mar 2025, 15:05
Publik Respons Negatif Revisi UU TNI, Pengamat: Prabowo Harus Turun Gunung, Dengar Aspirasi Rakyat.
Publik Respons Negatif Revisi UU TNI, Pengamat: Prabowo Harus Turun Gunung, Dengar Aspirasi Rakyat.

RIAU24.COM -Pengamat hukum dan politik Pieter C. Zulkifli mengingatkan Presiden Prabowo Subianto untuk cermat dalam merespons penolakan pengesahan revisi Undang-Undang TNI (UU TNI). 

Menurut dia, Prabowo harus mengevaluasi proses revisi UU TNI bila ditemukan celah yang berpotensi bertentangan dengan semangat reformasi. Kemudian, mendekatkan diri kepada rakyat dengan menunjukkan kepemimpinan yang lebih membumi.

"Jangan hanya sibuk dalam rapat dan euforia kepemimpinan, tetapi juga harus turun langsung merasakan aspirasi rakyat," kata Pieter dalam keterangannya, Senin (24/3/2025).

Dia mengingatkan, Presiden Prabowo harus berhati-hati dalam membaca situasi agar tidak terjebak dalam dinamika politik yang bisa mengancam stabilitas pemerintahannya.

Ia menduga ada gerakan politik tersembunyi yang berpotensi melemahkan legitimasi kekuasaan Prabowo.

Menurutnya, sejarah mencatat, Indonesia kerap berada dalam dilema antara kepentingan kekuasaan dan semangat reformasi.

"Salah satu isu yang paling mengundang kegelisahan publik adalah perluasan cakupan jabatan sipil yang boleh diisi oleh prajurit TNI aktif. Dari sebelumnya hanya 10 institusi, kini diusulkan menjadi 15," katanya.

Ia juga menyoroti tambahan lembaga seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Kejaksaan Agung (Kejagung), yang dinilainya menimbulkan pertanyaan apakah masih sesuai dengan semangat reformasi.

Sejak reformasi 1998, kata Pieter, negara telah sepakat bahwa TNI harus kembali ke barak dan fokus pada tugas pertahanan negara.

Reformasi TNI tegas menolak keterlibatan prajurit aktif dalam jabatan sipil. Namun, revisi UU TNI justru memberi ruang bagi TNI untuk mengisi posisi strategis di kementerian dan lembaga sipil.

"Salah satu aspek yang mengundang kekhawatiran adalah bagaimana kebijakan ini dibuat dengan pola pikir post factum, sesuatu yang sudah dilakukan terlebih dahulu, lalu baru dicari dasar hukumnya," kata mantan Ketua Komisi III DPR RI tersebut.

Ia mengatakan, sejak era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), penempatan prajurit TNI aktif di kementerian dan lembaga sudah berjalan. Namun, kini ada upaya memberikan legitimasi formal melalui UU TNI yang baru.

"Pendekatan ini jelas berbahaya. Kebijakan semestinya dibuat berdasarkan kajian mendalam sebelum diimplementasikan, bukan sebaliknya. Jika cara berpikir ini terus digunakan, maka akan ada banyak kebijakan lain yang justru mengikis prinsip demokrasi dan supremasi hukum," katanya.

Pieter menegaskan banyak pihak yang menolak revisi UU TNI bukan karena ingin membatasi peran TNI, tetapi karena khawatir akan kembalinya dominasi militer dalam pemerintahan sipil.

"Di Senayan, RUU ini memang sudah diajukan sejak era Presiden Jokowi. Namun, mengapa baru sekarang muncul gelombang penolakan besar? Mengapa ketika Polri masih banyak ditempatkan di lembaga negara, tidak ada protes sebesar ini? Ada indikasi bahwa ada pihak yang mencoba memanfaatkan isu ini untuk mendelegitimasi kepemimpinan Prabowo," ujarnya.

Pieter juga mencermati spekulasi bahwa ada gerakan di balik layar untuk menggoyang pemerintahan Prabowo. Ia menduga keputusan revisi UU TNI adalah bagian dari strategi politik dan intelijen tertentu yang ingin menciptakan instabilitas di awal pemerintahan.

"Prabowo harus berhati-hati dalam membaca situasi ini. Jangan sampai kebijakan yang terlihat kecil justru menjadi titik lemah yang dimanfaatkan lawan politiknya," katanya.

(***)