Menu

Kisah Pilu Seorang Petani di Kecamatan Pinggir Bengkalis Harus Duduk Dikursi Pesakitan, Miris Penyebabnya Karena Ini

Dahari 28 Apr 2020, 19:22
Foto. Ilustrasi
Foto. Ilustrasi

RIAU24.COM - BENGKALIS - Seorang petani dari masyarakat adat suku Sakai di Kabupaten Bengkalis saat ini sedang berjuang untuk melepas jeratan hukum yang menimpa atau dituduhkan kepadanya. 

Petani ini bernama Bongku warga Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis, Bongku diduga dikriminalisasi dengan undang undang P3H karena menebang pohon di tanah ulayatnya.

Bongku terancam hukuman satu tahun penjara dan denda lima ratus juta rupiah. Ancaman hukuman ini sudah dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) beberapa waktu lalu Senin (27/4) kemarin. Sedangkan penasehat hukum Bongku menyampaikan nota Pembelaan terhadap tuntutan JPU tersebut.

Penasehat hukum Bongku dari YLBHI LBH Pekanbaru Rian Sibarani  menyampaikan bahwa, kasus yang ditanganinya ini bermula dari keinginan Bongku yang membuka lahan untuk ditanami Ubi kayu dan Ubi Menggalo.

Ketika itu, Bongku menggarap lahan yang merupakan tanah ulayat yang berada di areal Konsesi Hutan Tanam Industri (HTI) PT. Arara Abadi distrik Duri II Kabupaten Bengkalis.

Mirisnya, saat mengelola tanah ulayat untuk menyambung hidupnya, Bongku malah diamankan petugas keamanan perusahaan pada tanggal 3 November 2019 lalu, kemudian diserahkan dan di tahan di Polsek Pinggir.

Perkara Bongku kemudian bergulir ke Pengadilan Negeri Bengkalis atau sampai ke meja hijau. Sidang perdana dilakukan 24 Februari lalu, saat bergulirnya persidangan JPU menghadirkan 3 orang saksi dari petugas keamanan perusahaan. Saksi menjelaskan perihal penangkapan terhadap Bongku, hingga akhrinya menyerahkannya kepada Polsek Pinggir. 

Selain itu, JPU juga menghadirkan Ahli Planologi dari Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Riau. Dimana Ahli memberikan  penjelasan dihadapan hakim terkait lokasi lahan yang dikelola Bongku masuk pada konsesi perusahaan. Dimana luas lahan yang di kelola Bongku sebesar setengah haktare.

Penasehat hukum Bongku dalam persidangan juga menghadirkan enam orang saksi yang meringankan. Mereka merupakan masyarakat adat suku sakai, serta saksi lainnya yakni Batin Pembumbung dan Mantan Humas perusahaan. 

Diutarakan Rian, saksi meringankan menerangkan bahwa lokasi kejadian merupakan lahan perjuangan masyarakat suku Sakai yang sejak dulu sudah menjadi tanah ulayat mereka. Luas lahan ulayat ini sekitar 7.158 haktare berasal dari hasil perjanjian mediasi dan disepakati bersama dan sampai saat ini belum terselesaikan oleh pemerintah sendiri. 

"Kita juga hadirkan ahli pidana pada sidang pembuktian sebelumnya, dimana yang kita hadrikan yakni Dr Ahmad Sofian, SH, MA. Keterangan ahli ini menjelaskan tentang muatan dari UU P3H yang diterapkan kepada terdakwa,"ungkap penasehat hukum Rian.

Dari keterangan ahli, menurut Riau, pada intinya UU P3H dibentuk untuk kejahatan yang terstruktur dan teroganisir bukan untuk  masyarakat adat atau masyarakat yang tinggal dalam kawasan hutan.

Sementara dalam nota pembelaan yang disampaikan kemarin, penasehat hukum berpendapat bahwa JPU tidak tepat dalam menggunakan pasal dalam UU P3H karena undang undang ini hanya tepat digunakan bagi perusahaan besar, cukong dan pelaku perusakan hutan dengan skala besar. UU P3H tidak tepat digunakan kepada masyarakat tempatan atau masyarakat adat untuk menggantung hidupnya pada hutan dan hasil pertanian. 

"Dalam fakta persidangan yang terungkap, tidak satupun fakta yang menjelaskan bahwa Terdakwa melakukan penebangan pohon yang bertujuan untuk merusak hutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 92 ayat (1) huruf c, 82 Ayat (1) huruf b dan c Undang  Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang P3H yang didakwakan jaksa,"ucapnya.

"Terdakwa melakukan penebangan bertujuan untuk berladang tradisional, menaman Ubi Kayu, Ubi Menggalo yang merupakan makanan tradisional Masyarakat Adat Sakai. Bahkan  berladang tradisional yang dilakukan terdakwa ini tidak akan menimbulkan kerusakan hutan. Karena Suku Adat Sakai memiliki Tradisi untuk menjaga ekosistem hutan, alam dan lingkungan," ujarnya.

Disamping itu, penasehat hukum juga menghadirkan alat bukti yang dilampirkan dalam nota pembelaan. Bukti yang dihadirkan yakni terkait dengan sejarah konflik juga bukti mediasi yang dilakukan antara Perusahaan dengan Masyarakat suku Sakai. Selain pesidangan  yang dilakukan di ruang sidang, ternyata kasus Bongku ini juga menjadi perhatian Publik.

Dimana sampai saat ini ada  6 amicus curiae dari akademisi yang ditujukan pada kasus Bongku serta 1 amicus curiae dari Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM).

Masih diungkapkan Rian, Amicus curiae adalah pihak yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara, memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan. Keterlibatan pihak yang berkepentingan dalam sebuah kasus ini hanya sebatas memberikan opini dalam bentuk brief. 

"Untuk di Indonesia amicus curiae eksis dalam kasus kasus yang menjadi perhatian publik dan membantu pengadilan untuk memperoleh informasi lebih dalam terkait perkara yang sedang diadili," beber Rian.

Penegakan hukum, sambung Rian, perusakan hutan hanya mampu menyasar pada orang perorangan yang miskin dan buta hukum. Padahal mereka hanya menggunakan lahan untuk berladang tradisional guna memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari hari. Sementara berdasarkan data Panitia khusus (Pansus) monitoring lahan DPRD Riau menyebutkan, pernah melaporkan 190 perusahaan terbukti tidak memiliki izin dasar perkebunan dan NPWP. 

Perusahaan perusahaan tidak memiliki NPWP ini tentu tidak pernah membayar pajak kepada negara selama menguasai hutan. "Hal ini tentunya tidak sebanding dengan apa yang dilakukan Bongku, hanya ingin memenuhi kehidupan sehari hari tepaksa duduk dikursi pesakitan. Timpangnya penegakan hukum ini  menyebabkan LBH Pekanbaru hadir untuk mendampingi Bongku untuk mendapatkan pembelaan mendapatkan hak haknya dalam proses hukum," pungkasnya. (hari)