Menu

Di Usia Hampir 100 Tahun Soeharto, Publik Masih Menanti Kemunculan Anak-Cucunya di Panggung Politik

Devi 9 Jun 2020, 11:10
Di Usia Hampir 100 Tahun Soeharto, Publik Masih Menanti Kemunculan Anak-Cucunya di Panggung Politik
Di Usia Hampir 100 Tahun Soeharto, Publik Masih Menanti Kemunculan Anak-Cucunya di Panggung Politik

RIAU24.COM -   Membangun sebuah dinasti politik rasanya masih fenomena baru, setidaknya dibandingkan dengan negara maju, seperti AS, yang sejak lama dikenal memiliki beberapa clan yang termahsyur di panggung politik, salah satu yang paling terkenal adalah clan Kennedy.  Bangsa kita lebih mengenal feodalisme, dimana raja atau sultan kelak akan digantikan oleh salah seorang anaknya.  Selama 75 tahun merdeka, negeri kita banyak melahirkan tokoh besar, namun tidak semuanya memiliki keturunan yang memiliki capaian seperti ayahnya.  

Salah satu keluarga yang sebenarnya sangat potensial untuk membangun sebuah dinasti atau trah, adalah anak-cucu Soeharto, yang telah memperoleh sebutan sebagai trah Cendana (mengacu pada nama tempat keluarga Soeharto tinggal).  Soeharto telah berkuasa sekian lama (1966-1998), sebuah durasi kekuasaan yang mustahil terulang kembali, seandainya bisa diolah, tentu akan menjadi modal sosial yang besar bagi anak-cucunya bila ingin berkuasa kembali kelak.

Selain itu salah satu dinasti yang cukup berhasil adalah dinasti politik Soekarno (Bung Karno), yang sudah sampai pada generasi ketiga, yakni Puan Maharani. Setelah sukses menjadi Ketua DPR RI, tentu Puan tidak akan berhenti sampai di sini, sudah santer disebut-sebut Puan akan maju pada Pilpres 2024, entah sebagai capres atau cawapres.

Mantan presiden lain yang juga sedang mencoba membangun dinasti adalah mantan Presiden SBY, yang sedang menyiapkan anaknya AHY, sebagai generasi calon penerus.  Memang hasilnya belum terlalu kelihatan, mengingat AHY akhirnya tidak masuk dalam Kabinet Indonesia Maju, yang semula sangat diharapkannya, terutama oleh SBY.  Dari sekian anak Soeharto, sepertinya tinggal Tommy Soeharto yang masih berminat dan juga ada peluang dalam berpolitik. Partai yang dia dirikan, yakni Partai Berkarya sempat ikut Pemilu 2019, namun hasilnya kurang menggembirakan, ketika tidak memperoleh satu pun kursi di parlemen. 

Soal kharisma, figur Soeharto tidak usah diragukan lagi, dan itu bisa ditularkan pada anaknya, meski tidak sama persis. Sekadar perbandingan, Megawati bisa sukses dalam politik sebagian karena kharisma ayahnya, namun ketika sampai ke Puan, kharisma itu mulai menyusut. Selain karena digerus oleh waktu, juga publik belum melihat prestasi yang meyakinkan dari Puan.

 Publik juga ingin melihat, apa prestasi Mas Tommy, Mbak Tutut, dan Mbak Titik, di masa lalu. Artinya prestasi dia yang sejati, bukan karena pengaruh Soeharto. Celakanya, karier politik atau sosial anak Soeharto, umumnya karena pengaruh posisi ayahnya selaku penguasa masa itu.

Pada saat ayahnya berkuasa, puteri tertuanya (Mbak Tutut) mengurus sejumlah organisasi, seperti Kirab Remaja Nasional dan Himpunan Pekerja Sosial Indonesia, yang kini tidak jelas lagi bagaimana nasib organisasi tersebut. Adik Mbak Tutut yang juga mencoba berkiprah di politik adalah Bambang Trihatmodjo, yang sempat menjadi pengurus DPP Golkar di bawah Harmoko, pada penggal terakhir kekuasaan Soeharto.

Pasca lengsernya Soeharto, Mbak Tutut kembali terjun ke politik, namun situasinya sudah sama sekali berbeda dengan era sebelumnya. Dia maju sebagai capres dalam Pilpres 2004, melalui Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), namun upaya Mbak Tutut gagal total. Demikian juga dengan Tommy, upayanya untuk menjadi Ketua Umum Golkar selalu gagal. Pertama pada Munas Partai Golkar tahun 2009 di Riau, Tommy kalah dari Aburizal Bakrie. Kemudian kalah lagi dalam Munas Golkar di Bali tahun 2016, ketika yang terpilih adalah Setya Novanto.

Faktor lain yang rupanya menjadi penghambat laju karier politik anak (cucu) Soeharto adalah soal pendidikan. 

Latar belakang pendidikan anak Soeharto umumnya  tidak terlalu jelas. Sepertinya hanya Mbak Titik (lulusan FEUI) dan putri bungsunya Mbak Mamik (lulusan IPB), yang lumayan memadai pendidikannya. 

Bambang Trihatmodjo dikabarkan sempat kuliah di Inggris, namun tidak jelas bagaimana kelanjutannya.

Sebenarnya yang dipersoalkan bukanlah kecerdasan atau ijazah formal, namun lebih pada soal menyia-nyiakan kesempatan. 

Bagaimana tidak, dengan kekayaan yang luar biasa dari Soeharto, kenapa anak-anak Soeharto tidak memanfaatkan kesempatan itu untuk sekolah setinggi-tingginya, bila perlu sekolah pada kampus ternama di luar negeri, yang berapa pun biayanya, ayahnya pasti sanggup membiayai. 

Namun kini semuanya sudah lewat, harapan pada pendidikan yang tinggi, kini dialihkan pada generasi ketiga (cucu Soeharto), dan itu pun belum jelas juga kabarnya.

Zaman sekarang faktor pendidikan adalah mutlak, ketika begitu banyak sarjana dari generasi milenial. Kita tidak bisa membayangkan, bagaimana bila orang seperti Tomy, dengan latar belakang pendidikan pas-pasan, harus berdebat dengan generasi milenial yang umumnya cerdas dan selalu update informasi, dalam sebuah forum kampanye misalnya.

Dari keluarga pemimpin negeri masa lalu, yang sekolah anak-anaknya terbilang membanggakan adalah Bung Hatta dan BJ Habibie. Artinya anak-anak mereka terbilang siap bila suatu saat dipanggil negara, untuk menjadi pejabat publik, seperti pernah terjadi pada Dr. Meutia Farida Hatta.

Kemudian anak pertama Habibie, Ilham Akbar Habibie, kini menjadi pakar digantara skala global seperti ayahnya. Artinya, publik tidak was-was bila mereka-mereka ini suatu saat berkiprah di dunia politik.