Faisal Basri Sebut Jokowi Dibohongi Soal Hilirisasi Nikel, Yang Banyak Untung Tetap China
RIAU24.COM - Saat menyampaikan pidato kenegaraan presiden dalam sidang tahunan MPR 14 Agustus lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut pengolahan nikel, stainless steel slab, dan lembaran baja, akan membuat posisi Indonesia menjadi sangat strategis dalam pengembangan baterai lithium, mobil listrik dunia dan produsen teknologi di masa depan.
Pidato presiden ini mendapat sorotan dari Ekonom Senior Faisal Basri. Menurutnya, Jokowi telah dibohongi soal data tersebut. Memang sebagian pidato tersebut benar adanya. Indonesia telah berhasil mengolah bijih nikel menjadi ferro nikel, stainless steel slab, dan lembaran baja.
Namun, beberapa produk itu sudah cukup lama telah dihasilkan di dalam negeri, antara lain oleh PT Antam (Persero) di Pomalaa, PT Valle di Sorowako, dan PT Indoferro di Cilegon.
"Sampai sekarang tidak ada fasilitas produksi untuk mengolah bijih nikel menjadi hidroksida nikel (kadar nikel (Ni) 35 persen sampai 60 persen) dan nikel murni berkadar 99,9 persen yang menjadi bahan utama menghasilkan baterai," jelasnya dikutip dari situs pribadinya Faisalbasri.com Rabu (9/9).
Selain itu, yang dilakukan pemerintah juga masih jauh dari proses hilirisasi. Sebab, sampai sekarang tidak ada fasilitas produksi untuk mengolah bijih nikel menjadi hidroksida atau kadar nikel (Ni) 35 persen sampai 60 persen) dan nikel murni berkadar 99,9 persen yang menjadi bahan utama menghasilkan baterai.
"Perusahaan-perusahaan smelter yang menjamur belakangan ini baru mencapai sekitar 25 persen menuju produk akhir, jadi tidak bisa dikatakan telah menjalankan industrialisasi atau menjadi ujung tombak industrialisasi. Kalau menggunakan istilah hilirisasi, perjalanan menuju hilir masih amat panjang," terang dia.
Jangankan hilirisasi, yang terjadi menurut Faisal justru praktik pemburuan rente besar-besaran. Hal ini salah satunya terlihat dari percepatan kebijakan larangan ekspor bijih nikel pada 2019 dari yang seharusnya 2022.
Sejak nikel dilarang ekspor, harga nikel di dalam negeri jatuh dibandingkan harga internasional. Akibatnya, investor smelter asal China berbondong-bondong ke RI.
Selain mendapatkan harga nikel yang murah, mereka menikmati fasilitas luar biasa dari pemerintah, mulai dari tax holiday, penghapusan pajak ekspor dan bayar pajak pertambahan nilai, termasuk membawa pekerja kasar sekalipun tanpa pungutan 100 dolar AS per bulan bagi pekerja asing.
"Mereka bebas mengimpor apa saja yang dibutuhkan. Tak pula harus membayar royalti tambang. Mereka bebas menentukan surveyor dan trader yang bertindak sebagai oligopsoni menghadapi pemasok bijih nikel. Semua fasilitas itu tidak dinikmati di negara asalnya," ujarnya seperti dikutip cnnindonesia.
Faisal menilai model yang 'aneh' seperti ini sangat kecil kemungkinannya bisa memperbaiki defisit transaksi berjalan sebagaimana diharapkan Jokowi.
Sebab nilai tambah yang dinikmati Indonesia nikmati tak sampai 10 persen dari keseluruhan nilai tambah yang tercipta. Itu pun kebanyakan dinikmati oleh para pemburu rente di dalam negeri.
"Belum ada sama sekali pijakan untuk mengembangkan bijih nikel menjadi bahan utama untuk baterai lithium. Belum ada rute menuju ke sana. Indonesia sejauh ini hanya dimanfaatkan sebagai penopang industrialisasi di China dengan ongkos sangat murah dibandingkan kalau kegiatan serupa dilakukan di China," tegasnya.***