Menu

Akan Disahkan, Jutaan Buruh Malah Siap Mogok 3 Hari Untuk Tolak Omnibus Law Cipta Kerja, Poin Terakhir Menakutkan Bagi Buruh Perempuan

Siswandi 4 Oct 2020, 20:39
Ilustrasi
Ilustrasi

RIAU24.COM -  Saat ini, Rancangan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja, tinggal selangkah lagi bakal disahkan. Namun bukannya menerima, jutaan buruh yang tersebar di berbagai daerah di Tanah Air, malah kompak berencana menggelar aksi mogok nasional. Tak tanggung-tanggung, aksi itu akan dilakukan selama tiga hari (6-8 Oktober). Alasannya tegas, buruh menolak RUU tersebut. 

"KSPI dan buruh Indonesia beserta 32 Federasi serikat buruh lainnya menyatakan menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja dan akan mogok nasional pada 6-8 Oktober 2020. Mogok Nasional ini akan diikuti sekitar 2 juta buruh," kata Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, dalam keterangan resminya, Minggu 4 Oktober 2020.

Dilansir detik, Said kemudan menjelaskan ada tujuh poin yang ditolak buruh dan menjadi alasan untuk dilakukan mogok nasional. 

Di antaranya dalam RUU tersebut Upah Minimum Kabupaten/Kota (UML) dibuat jadi bersyarat. Dalam hal ini UMK dibuat dengan melihat laju inflasi atau pertumbuhan ekonomi. Tak hanya itu, Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) ternyata dihapus dalam RUU Cipta Kerja.

Menurut Iqbal, UMK tidak perlu bersyarat dan UMSK harus tetap ada. Sebab UMK setiap kabupaten/kota berbeda nilainya. Dia juga tidak setuju jika UMK di Indonesia dibilang lebih mahal dari negara ASEAN lainnya. Sebab, jika diambil rata-rata nilai UMK secara nasional, UMK di Indonesia disebut jauh lebih kecil dari upah minimum di Vietnam.

"Tidak adil, jika sektor otomotif seperti Toyota, Astra, dan lain-lain atau sektor pertambangan seperti Freeport, Nikel di Morowali dan lain-lain, nilai UMK-nya sama dengan perusahan baju atau perusahaan kerupuk. Karena itulah di seluruh dunia ada Upah Minimum Sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap PDB negara," ucapnya.

Ia menegaskan, UMSK harus tetap ada. Sebagai jalan tengahnya penetapan nilai kenaikan dan jenis industri yang mendapatkan UMSK, bisa dilakukan di tingkat nasional untuk beberapa daerah dan jenis industri tertentu saja. 

Sehingga UMSK tidak lagi diputuskan di tingkat daerah dan tidak semua industri mendapatkan UMSK agar ada keadilan.

"Jadi tidak harus sama rata sama rasa, karena faktanya setiap industri berbeda kemampuannya. Karena itu masih dibutuhkan UMSK," sebutnya.

Selain itu, pihaknya juga menolak pasal dalam RUU tersebut, yang menyebutkan pesangon dikurangi dari 32 kali upah menjadi 25 kali upah yang mana 19 bulan dibayar pengusaha dan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan. 

Iqbal balik mempertanyakan dari mana BPJS mendapat sumber dana untuk membayar pesangon.

"Karena tanpa membayar iuran tapi BPJS membayar pesangon buruh 6 bulan. Bisa dipastikan BPJS Ketenagakerjaan akan bangkrut atau tidak akan berkelanjutan program JKP Pesangon dengan mengikuti skema ini," tuturnya.

Selain itu Buruh menolak adanya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) seumur hidup tanpa batas waktu kontrak bagi pekerja serta outsourcing seumur hidup.

"Padahal sebelumnya outsourcing dibatasi hanya untuk lima jenis pekerjaan," katanya.

"Dalam RUU Cipta Kerja disebutkan, buruh kontrak yang mendapat kompensasi adalah yang memiliki masa kerja minimal 1 tahun. Pertanyaannya, bagaiamana kalau pengusaha hanya mengontrak buruh di bawah satu tahun? Berarti buruh kontrak tidak akan mendapatkan kompensasi," kata Said.

Hal itu ia nilai bisa menjadi masalah serius bagi buruh. Alasannya pihak yang akan membayar Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk karyawan kontrak dan outsourcing menjadi tidak jelas. Pengusaha bisa mengontrak buruh di bawah satu tahun untuk menghindari membayar kompensasi. Intinya, kata Iqbal, tidak ada kepastian kerja bagi buruh Indonesia.

Hal lain yang disorot adalah waktu kerja yang eksploitatif. Berdasarkan materi ringkasan yang diterima detikcom, waktu kerja dalam RUU Cipta Kerja diatur lebih fleksibel untuk pekerjaan paruh waktu menjadi paling lama 8 jam per hari atau 40 jam per minggu. Sedangkan untuk pekerjaan khusus seperti di sektor migas, pertambangan, perkebunan, pertanian dan perikanan dapat melebihi 8 jam per hari.

Terakhir, selama cuti, upah buruh jadi hilang. Said mengakui memang hak cuti melahirkan dan haid tidak dihilangkan, tetapi selama cuti tersebut buruh menjadi tidak dibayar. Itulah yang tidak disetujui oleh para buruh.

"Yang hilang saat cuti haid dan hamil, upah buruhnya tidak dibayar, no work no pay. Akibatnya buruh perempuan tidak akan mengambil hak cuti haid dan hamilnya karena takut dipotong upahnya pada saat mengambil cuti tersebut," sebutnya. ***